24 September 2017

Hati-Hati Terjangkit Penyakit Kecemasan Digital

Jika kita melihat dan mau memperhatikan di sekeliling kita, ketika berkumpul bersama teman di cafe, makan bersama di restoran atau mall, berjalan-jalan di pantai atau taman, bahkan ketika rapat kerja, ada saja orang-orang yang tidak bisa lepas dari ponselnya.

Sebuah survei yang dilakukan pada 2,000 penduduk Inggris menunjukkan fakta bahwa rata-rata seorang dewasa menghabiskan waktu setara dengan 20 minggu per tahun di depan layar digital. 30% partisipan survei mengatakan bahwa mereka memeriksa ponselnya paling tidak setiap 30 menit sekali. Seperempat partisipan mengatakan bahwa mereka akan merasa bosan dalam waktu 1 jam tanpa ponsel, sementara hampir 23% mengatakan bahwa mereka akan merasa gelisah/cemas jika terpisah dengan ponsel.

Stefan Hofmann, professor psikologi di Universitas Boston, peneliti ahli di bidang emosi, mengatakan bahwa terpisah dari sosial media bisa menyebabkan kecemasan dan dorongan besar untuk login kembali.

Ada beberapa pertanda atau gejala yang perlu kita periksa ke diri kita sendiri, apakah kita juga menderita penyakit baru ini, kecemasan digital.

Meski penulis bukan ahli psikologi, hubungan sosial, maupun antropologi, saya coba mendaftarkan beberapa indikasi yang bisa jadi merupakan pertanda kita menderita kecemasan digital:
  1. Ponsel sudah seperti menjadi anggota tambahan tubuhmu. Tidak bisa lepas darinya. ‘Menempel’ di paha/dikantungi terus selama 24/7 (24 jam sehari selama 7 hari seminggu), bahkan tidur pun membawa ponsel
  2. Asyik browsing atau interaksi sosial media di ponsel ketika sedang makan bersama teman atau keluarga tanpa ada yang saling berbicara satu sama lain
  3. Sibuk mengecek ponsel ketika sedang berbicara tatap muka dengan orang lain
  4. Tidak bisa menahan diri untuk tidak melihat/mengecek ponsel ketika ada bunyi notifikasi aplikasi sosial media, bahkan ketika berada di situasi yang bisa membahayakan dirinya sendiri semisal ketika sedang berkendara
  5. Merasa terganggu atau cemas ketika chatting online dengan teman namun tidak menerima balasan padahal mengetahui pesan anda sudah terbaca
  6. Merasa cemas jika tidak login atau tidak meng-akses media sosial sehari saja
  7. Merasa iri dengan postingan teman (contohnya jalan-jalan ke luar negeri, makan mewah, beli tas baru, dan lain-lain), muncul keinginan mengikuti atau melebihi postingan teman tersebut
  8. Merasa terganggu atau cemas ketika posting foto cantik/ganteng, tanpa ada yang nge-like, dan terus memantau update postingan tersebut setiap beberapa menit
  9. Merasa terganggu atau cemas ketika men-tag teman tapi tidak ada balasan selama 6 jam
  10. Merasa terganggu atau cemas ketika mengirim email dan tidak segera mendapatkan balasan
  11. Memperhatikan jumlah followers di Twitter atau teman di Facebook, dan merasa terganggu atau cemas jika angkanya berkurang.

Hadirnya platfom sosial media yang memungkinan sharing teks, foto, dan video online bisa menjadi pedang bermata ganda, bisa mendatangkan kebaikan, namun jika tidak dikendalikan dengan benar bisa melumpuhkan pemiliknya.

Psikoterapis Diane Lang mengatakan bahwa jika kita mulai membandingkan kehidupan kita dengan kehidupan orang lain (postingan teman online) yang terlihat lebih baik dari diri kita, bisa menimbulkan rasa iri, kebencian, dan frustasi dengan hidup kita sendiri.

Ketika kita berpikir bahwa kehidupan orang lain lebih baik dari kehidupan kita sendiri, bisa jadi muncul perasaan kesepian atau sedih, dan perasaan bahwa kita tidak memiliki kehidupan sosial.

Seperti kata pepatah, “rumput tetangga terlihat lebih hijau dari rumput rumah sendiri”. Padahal, seperti ungkapan bijak Jawa, “hidup itu sawang sinawang (kurang lebih)”, setiap manusia atau keluarga pasti punya kelebihan dan kekurangan.

Kenyataannya, di media sosial, kebanyakan orang hanya akan memposting hal-hal yang baik atau yang terlihat keren saja. Sehingga sebetulnya bukan mereka tidak punya hal-hal buruk yang menimpa mereka di kehidupan hari-hari, tapi mereka tidak mau menunjukkannya/men-share-nya saja di media online. Sehingga tepatlah apa yang dikatakan Diane Lang tersebut.

Untuk mencegah penyakit kecemasan digital tersebut, ada beberapa langkah yang patut kita coba.

Pertama, cobalah untuk disiplin log off atau tidak melihat aplikasi sosial media pada waktu-waktu tertentu. Waktu tersebut misalnya ketika sedang rapat, makan bersama, atau ketika sedang berbicara tatap muka dengan orang. Hal ini menunjukkan bahwa anda menghargai pentingnya rapat, mengapresiasi orang yang sedang berbicara, dan benar-benar terhubung dengan orang nyata yang ada di hadapan anda, bukan sedang membangun hubungan dengan orang di dunia maya tapi malah menghancurkan hubungan kongkrit dengan orang-orang di dunia nyata anda.

Waktu terpenting yang patut diprioritaskan kedisiplinan untuk menahan diri dari melihat ponsel adalah ketika kita sedang bercengkrama bersama dengan anggota keluarga. Mereka butuh kasih sayang dan perhatian. Tatapan mata, usapan di kepala, kecupan ringan, dan segala perhatian yang kita berikan merupakan pelajaran berharga bagi mereka untuk menghargai orang lain.

Kalau kita berbicara dengan anak sembari asyik berselancar di dunia maya, bahkan terkadang hanya mendengarkan tanpa benar-benar menyimak apa yang mereka katakan atau apa yang mereka lakukan, maka janganlah marah jika suatu saat nanti, mereka pun tidak akan memperhatikan anda ataupun peduli pada anda ketika anda tua nanti.

Waktu yang sebaiknya dihindari lainnya adalah berselancar online adalah ketika berkendara. Harga tebusan keingintahuan melihat notifikasi update terbaru dengan harga keselamatan yang bisa membuat diri kita atau orang lain celaka, tidaklah sepadan. Sehingga, jangan mengecek ponsel ketika berkendara. Berhenti dan menepi ke sisi jalan, jika memang ada hal penting yang perlu dilakukan dengan ponsel anda.

Juga, tinggalkan ponsel ketika hendak tidur. Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa layar digital yang memancarkan sinar biru dan putih mencegah otak untuk melepaskan hormon melatonin, sehingga kita akan tetap terjaga dan menjadi susah untuk tidur. Penelitian lain pada 850 orang Belanda-Belgia menunjukkan fakta bahwa mempergunakan ponsel setelah mematikan lampu kamar memiliki kaitan dengan kualitas tidur yang buruk, lebih banyak insomnia, dan lebih banyak gejala kelelahan (meskipun penelitian itu belum jelas menunjukkan bahwa penggunaan ponsel menjadi penyebab gangguan tidur).

Kedua, pahamilah, bahwa berita dunia kiamat tidak akan muncul di timeline facebook. Sehingga sebetulnya, ketinggalan berita apapun di sana, tidak akan membuat dunia anda berakhir. Bahkan sebetulnya, terlalu banyak informasi sampah yang membanjiri kanal sosial media kita, menyebabkan kita kewalahan, mudah terayun emosi, dan salah dalam bertindak.

Berita hoax yang dipercaya bisa membuat keliru dalam berpikir, berucap, dan bertindak, yang mungkin nantinya akan kita sesali. Perbedaan pemikiran politik, bisa membuat orang marah atau memanaskan hati dan pikiran ketika berselancar. Berita gosip hanya akan menghabiskan waktu dan menambah dosa saja. Belum lagi godaan kemudahan berbelanja online yang bisa membuat kita menjadi konsumtif sehingga memperbesar hutang kartu kredit atau membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan (seperti kata pepatah, besar pasak dari pada tiang).

Terakhir, luangkan untuk aktifitas fisik ketimbang aktifitas online. Berjalan ke Pantai Kemala atau Pantai Mangar, berjalan sehat di Lapangan Merdeka, tentu lebih menyegarkan pikiran dan menyehatkan badan ketimbang berselancar sepanjang hari di dunia maya.



---000---

Referensi:

Postingan terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar