Semua pekerja bisa melakukan kesalahan (error), tak terkecuali pekerja yang sudah terlatih dan memiliki motivasi kerja yang baik. Beberapa kesalahan bisa menghasilkan konsekuensi cedera/kecelakaan, sedang banyak kesalahan lainnya tidak. Karenanya, penting bagi praktisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) untuk dapat memahami prinsip yang melatarbelakangi kesalahan manusia.
Karena kesalahan pasti terjadi, kemampuan untuk dapat mengidentifikasi kesalahan di tahap awal, berguna untuk mencegah terjadinya kecelakaan.
Grafik di atas memperlihatkan porsi faktor manusia dan hubungannya dengan kecelakaan.
Hampir 80% kejadian terkait dengan kesalahan manusia, data dari Departemen Energi Amerika bahkan mengatakan bahwa di beberapa industri, porsi kesalahan manusia bisa mencapai 90%; hanya sekitar 20% yang terkait kegagalan peralatan.
Jika angka 80% kesalahan manusia didetailkan lebih lanjut, terungkap bahwa sebagian besar (70%) kesalahan pekerja diakibatkan oleh kelemahan laten organisasi/perusahaan (kelemahan yang dibuat oleh pekerja lain di masa lalu yang tidak nampak karena tidak menimbulkan masalah), sedang 30% lainnya terjadi oleh pekerja yang menangani peralatan atau sistem di area kerja.
Kecelakaan-kecelakaan yang telah terjadi mengajarkan bahwa kita tidak boleh menyalahkan kecelakaan hanya kepada pekerja, karena yang sebetulnya terjadi adalah proses dan nilai di dalam organisasi/perusahaan berkontribusi besar pada mayoritas kecelakaan. Akar penyebab kecelakaan merupakan kombinasi dari beberapa faktor, banyak diantaranya yang berada di luar kendali pekerja.
Ada 5 prinsip dasar yang harus terlebih dahulu dimengerti untuk dapat memahami faktor manusia.
Pertama, semua manusia bisa berbuat salah, bahkan pekerja yang paling hebat pun bisa salah.
Tidak ada satupun pekerja yang kebal/anti kesalahan, berapapun usia, pengalaman atau tingkat pendidikannya. Karenanya dikenal istilah “to err is human” (berbuat salah adalah manusiawi). Tabiat manusiawi pekerja untuk bersikap tidak sempurna, sehingga pada akhirnya, kesalahan dapat terjadi. Tidak ada pelatihan atau konseling yang dapat mengubah kerentanan manusia ini.
Dr. James Reason, penulis Human Error (1990) mengatakan: adalah penting bagi tiap pekerja, terutama managernya, untuk menjadi lebih mawas diri akan potensi manusia berbuat salah. Pekerjaan, tempat kerja dan faktor organisasasi membentuk kemungkinan (likelihood) dan konsekuensi (consequences). Memahami bagaimana dan mengapa tindakan tidak aman terjadi adalah langkah awal penting dalam mengelola kesalahan dengan efektif.
Kedua, situasi yang mungkin menyebabkan kesalahan dapat diprediksi, dikelola dan dicegah.
Meskipun secara umum kesalahan manusia adalah hal yang pasti, beberapa kesalahan yang spesifik dapat dicegah. Seperti halnya jika seseorang menulis formulir penarikan rekening bank di awal tahun baru akan memiliki potensi besar salah menulis tahun sebelumnya, prediksi semacam ini bisa juga dibangun dalam konteks bekerja di tempat kerja.
Mengenali perangkap/jebakan kesalahan dan secara aktif mengkomunikasikan bahaya-bahaya tersebut ke orang lain adalah salah satu bentuk pengelolaan kesalahan yang proaktif. Dengan mengubah situasi kerja untuk mencegah, menghilangkan atau mengurangi kondisi yang bisa menyebabkan kesalahan, pekerjaan dan faktor individu di tempat kerja bisa dikelola untuk mencegah atau setidaknya mengurangi peluang terjadinya kesalahan.
Ketiga, perilaku individu dipengaruhi oleh proses dan nilai organisasi.
Organisasi digerakkan oleh tujuan, karena itu, proses dan nilai-nilai yang ada di dalamnya dikembangkan untuk mengarahkan perilaku tiap individu di dalam organisasi. Organisasi mencerminkan bagaimana pekerjaan dipecah menjadi tugas-tugas tertentu dan dikoordinasikan untuk mencapai sasaran dengan selamat dan handal. Tugas manajemen untuk mengarahkan perilaku para pekerja. Penyelesaian pekerjaan dalam konteks proses dan budaya organisasi, pengelolaan perencanaan dan sistem pengendali, berkontribusi paling besar dalam kesalahan manusia yang bisa mengakibatkan kecelakaan kerja.
Keempat, pekerja mencapai kinerja tertinggi karena dorongan dan penguatan yang diterimanya dari pimpinan, rekan kerja dan bawahannya.
Tingkat keselamatan dan kehandalan sebuah fasilitas terkait langsung dengan perilaku para pekerjanya. Semua perilaku manusia, yang baik ataupun yang buruk, dikuatkan oleh konsekuensi langsung atau pengalaman masa lalunya. Sebuah perilaku dikuatkan oleh konsekuensi yang individu tersebut alami ketika perilaku tertentu dilakukan. Karena perilaku dipengaruhi oleh konsekuensi yang pekerja itu alami, apa yang terjadi ketika seorang pekerja menunjukkan perilaku tertentu adalah hal yang penting untuk meningkatkan kinerja manusia.
Kelima, kecelakaan bisa dihindari dengan memahami alasan/sebab kejadian dan mengambil pelajaran dari kesalahan di masa lalu.
Peningkatan kinerja dapat diraih dengan menerapkan tindakan perbaikan sebuah investigasi/analisa kecelakaan. Belajar dari kesalahan diri sendiri dan orang lain adalah hal yang reaktif, namun menjadi hal yang penting sebagai bentuk perbaikan berkelanjutan.
Manusia tidak berbuat salah secara sengaja. Kesalahan (error) adalah tindakan manusia yang tidak disengaja yang menyimpang dari tindakan yang diharapkan. Kesalahan adalah tindakan tak terencana atau dipikirkan terlebih dahulu. Kesalahan manusia (human error) terjadi akibat ketidakcocokan antara keterbatasan manusia dengan kondisi lingkungan di tempat kerja, termasuk ketidaksesuaian manajemen, kepemimpinan dan kelemahan organisasi yang membuat kondisi tersebut muncul.
Luput (slips) terjadi ketika suatu aksi fisik gagal mewujudkan hasil yang diinginkan. Sedang khilaf (lapses) melibatkan kegagalan terkait ingatan atau mengingat ulang.
Beberapa hal berikut bisa menjelaskan bagaimana ketidaktepatan atau aksi yang salah bisa terjadi:
- Waktu –terlalu cepat, terlalu lambat, alpa
- Durasi –terlalu lama, terlalu singkat
- Urutan –terbalik, berulang-ulang, gangguan
- Obyek –salah tindakan di obyek yang benar, tindakan bertindak di obyek yang salah
- Tekananan –terlalu sedikit atau terlalu banyak tekanan
- Arahan – salah memberikan arahan
- Kecepatan –terlalu cepat atau terlalu lambat, dan
- Jarak – terlalu jauh, terlalu dekat.
Manusia memiliki karakter fisik, biologi, sosial, mental, dan emosi yang membentuk kecenderungan, kemampuan dan juga menentukan keterbatasannya.
Salah satu ciri manusia adalah ketidaktepatannya. Tidak seperti mesin yang selalu tepat setiap saat, manusia cenderung tidak tepat, terutama dalam kondisi tertentu, semisal dalam tekanan stres dan waktu yang besar. Karena sifat manusiawi inilah, pekerja cenderung rentan terhadap kondisi eksternal yang membuat mereka melampaui batasan sifat manusianya. Kerentanan inilah yang membuat pekerja bisa berbuat salah. Kerentanan ini juga terjadi ketika manusia bekerja dalam sistem yang rumit (perangkat lunak maupun administratif)
Beberapa karakter manusia dibawah ini perlu diperhatikan, terutama ketika menempatkan pekerja di sistem kerja yang rumit:
Stres. Pada dasarnya, stres bukanlah hal yang buruk. Beberapa kondisi stres merupakan hal yang normal dan sehat. Stres bahkan dapat meningkatkan fokus sehingga menguntungkan. Namun, stres bisa terakumulasi dan menguasai seseorang, sehingga pada akhirnya melumpuhkan kinerja.
Menghindari kelelahan pikiran. Manusia cenderung enggan berpikir/konsentrasi/fokus dalam jangka waktu yang lama karena melelahkan. Berpikir adalah proses yang membutuhkan usaha yang besar dan juga lambat, akhirnya manusia cenderung mencari pola yang dikenalnya dan menerapkan solusi yang sudah pernah diterapkan. Polanya bisa berupa:
- Asumsi -menerima suatu kondisi sebagai suatu hal yang benar tanpa verifikasi terlebih dahulu
- Kebiasaan –pola perilaku dibawah sadar sebagai hasil dari pengulangan yang sering
- Bias konfirmasi –keengganan untuk menerapkan solusi terbaru karena bias pemikiran yang ada akibat investasi waktu dan usaha yang diperlukan untuk menerapkan solusi terbaru itu. Bias ini terjadi karena otak sudah melihat hasil dari solusi sebelumnya dan menolak data/fakta mengenai keberhasilan solusi yang baru
- Bias kesamaan –kecenderungan untuk mengambil solusi dari kondisi yang serupa yang berhasil di masa lalu
- Bias frekuensi – mencoba solusi yang sudah berhasil dan sering dipakai
- Bias ketersediaan –kecenderungan untuk menerapkan solusi yang tersedia/muncul dalam pikiran.
Keterbatasan fokus perhatian. Keterbatasan kemampuan berkonsentrasi pada dua atau lebih aktifitas menurunkan kemampuan untuk memproses informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah. Fokus perhatian sangatlah terbatas, jika diambil oleh satu hal maka dia akan menarik diri dari hal yang lain.
Pola pikir. Manusia cenderung fokus pada apa yang hendak dicapai daripada pada fokus pada apa yang harus dihindari, karenanya, manusia hanya melihat apa yang pikirannya harapkan/inginkan untuk dilihat. Otak manusia cenderung mencari keteraturan, setelah didapat, maka ia akan mengacuhkan selain itu; dengan demikian ia akan melewatkan kondisi yang tidak diperkirakan.
Sulit melihat kesalahannya sendiri. Individu, terutama yang bekerja sendiri, rentan terhadap kesalahan. Pekerja yang terlalu asyik dengan kerjaannya, atau disibukkan dengan suatu hal, bisa jadi gagal untuk dapat mengidentifikasi ketidaknormalan.
Keterbatasan perspektif. Manusia tidak bisa melihat semua hal yang ada ditempat kerja untuk dilihat. Keterbatasan manusia untuk menerima semua fakta dapat menghalangi keputusannya untuk memecahkan masalah.
Rentan terhadap faktor emosional/sosial. Kemarahan atau rasa malu bisa menurunkan kinerja seorang pekerja atau kelompok kerja.
Kelelahan. Lelah secara fisik, emosi dan mental bisa mengarah ke tindakan yang salah dan pengambilan keputusan yang tidak tepat. Kelelahan dapat diakibatkan oleh faktor di dalam pekerjaan (tekanan produksi, lingkungan, dan kurangnya jumlah pekerja) dan faktor d iluar pekerjaan (pola makan dan tidur). Kelelahan memperburuk pengambilan keputusan, menurunkan kewaspadaan, memperlambat proses berpikir dan waktu reaksi, menghilangkan kewaspadaan kepada lingkungan (situational awareness) dan mendorong seseorang mengambil jalan pintas (shortcut).
Presenteeism. Beberapa pekerja akan tetap memaksakan hadir dan bekerja meskipun kemampuan kerjanya sudah menurun karena penyakit atau cedera. Kecenderungan pekerja tetap melanjutkan pekerjaan meski memiliki masalah kesehatan yang ringan dapat diakibatkan oleh kurangnya cuti sakit, menumpuknya pekerjaan atau tidak tersedianya akses pelayanan kesehatan.
Sikap tidak aman. Sikap dapat diartikan sebagai kondisi mental atau perasaan terhadap suatu obyek atau subyek. Dikatakan bahwa persepsi seseorang terhadap resiko lebih banyak dipengaruhi oleh hatinya ketimbang otaknya. Beberapa sikap yang dapat menimbulkan resiko berbuat salah misalnya:
- Rasa bangga. Kebanggaan berlebih terhadap kemampuan diri sendiri; sombong. Terlalu fokus pada diri sendiri dan berlebihan rasa bangga cenderung membutakan kita akan hal-hal yang dapat dilakukan oleh orang lain, menurunkan kepercayaan terhadap kerjasama tim.
- Heroik. Keberanian yang berlebihan. Reaksi heroic biasanya impulsif, ada pemikiran dalam dirinya bahwa pekerjaan harus dilakukan secara cepat atau dianggap gagal. Perspektif ini ditandai dengan fokus berlebih pada tujuan tanpa mempertimbangkan bahaya yang harus dihindari
- Fatalistic. Sikap kalahan yang meyakini bahwa setiap kejadian sudah ditentukan, tidak bisa dihindari, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk menghindari takdir
- Invulnerability. Memiliki rasa kebal terhadap kesalahan/tidak mungkin berbuat salah, gagal atau cedera. Kebanyakan orang tidak percaya bahwa mereka akan berbuat salah: “tidak mungkin terjadi pada diriku.” Padahal, kesalahan selalu mengejutkan ketika terjadi, sebagai akibat dari keterbatasan/ketidak akuratan manusia dalam memperhitungkan resiko
- Pollyanna (rasa optimis berlebihan). Manusia mencari keteraturan dalam lingkungan, bukan ketidakteraturan. Memiliki kecenderungan mengisi kekosongan persepsi dan melihat secara keseluruhan ketimbang per bagian. Akibatnya, secara tidak sadar mereka meyakini bahwa segala sesuatu akan berjalan sesuai yang direncanakan. Hal yang bisa terjadi ketika melakukan pekerjaan rutin adalah tanpa sadar meyakini bahwa tidak ada satupun yang bisa berjalan tidak sesuai rencana/salah. Sikap ini membuat ketidakakuratan dalam memperhitungkan resiko dan mengacuhkan situasi atau bahaya yang tidak biasa, sehingga menyebabkan mereka terlambat atau bahkan tidak bereaksi
- Sikap “Ban gundul”. Kinerja masa lalu terkadang menjadi pembenaran untuk tidak merubah (melakukan perbaikan) praktek atau kondisi yang sudah ada: “saya sudah berkendara 100.000 KM tanpa sekalipun mengalami ban bocor.” Kesuksesan bisa membuat kepuasan dan kepercayaan diri berlebih. Kalimat yang biasa digunakan misalnya, “kita tidak pernah mengalami masalah seperti ini di masa lalu,” atau “kita selalu melakukannya dengan cara seperti ini.”
Kesalahan kelompok bisa diakibatkan oleh beberapa hal, diantaranya:
Efek halo – Kepercayaan buta akan kompetensi seseorang dikarenakan pengalaman atau pendidikannya. Hal ini mengakibatkan antar anggota kelompok menurunkan kewaspadaannya terhadap kesalahan yang dapat diakibatkan oleh individu yang kompeten; tidak memeriksa tindakan seorang yang kompeten
Pilot-Co-pilot – Keengganan pekerja junior (co-pilot) untuk menentang pendapat, keputusan atau tindakan pekerja senior (pilot) karena posisinya di dalam struktur organisasi perusahaan. Bawahan menunjukkan sopan santun berlebihan ketika berinteraksi dengan manajer senior, tanpa sadar menerima perkataan bos tanpa berpikir kritis atau berbeda pendapat terhadap tindakan dan keputusannya.
Menumpang/mengikuti saja – Kecenderungan untuk “menumpang” (ikut-ikutan saja) tanpa secara aktif mengevaluasi maksud dan tindakan pekerja yang melakukan pekerjaan atau mengambil inisiatif. Orang lain yang mengambil inisiatif untuk melakukan pekerjaan, sementara si penumpang hanya mengambil peran pasif.
Berpikir grup – Kepaduan, loyalitas, konsensus dan komitmen adalah hal yang baik jika ada di dalam kelompok kerja. Namun, terkadang, hal-hal tersebut bisa menurunkan kualitas keputusan tim. Contohnya, ada keenganan untuk berbagi informasi yang berbeda untuk menjaga keharmonisan tim. Kondisi itu bisa diperparah jika ada anggota grup yang dominan dan memberikan pengaruh yang kuat dalam pola pikir grup (pilot/co-pilot atau efek halo). Akibatnya, informasi yang penting bisa jadi tidak terbagi kepada anggota kelompok.
Difusi tanggung jawab bisa jadi berisiko dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah kelompok. Jika dua atau lebih pekerja sepakat akan sesuatu yang dianggap cara yang terbaik dalam melakukan sesuatu, maka mereka akan lebih mudah mengambil resiko dan mengabaikan prosedur atau kebijakan yang ada. Fenomena ini bisa disebut mentalitas gembala (herd mentality).
---000---
Referensi: Department of Energy. Human Performance Improvement Handbook - Volume 1: Concepts and Principles. June 2009. Washington, D.C, USA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar