31 Maret 2022

Dilema Kode Etik dalam Genggaman Praktisi K3

Kode etik itu ibarat arah kiblat yang harus diketahui, diikuti, dipegang teguh, dan dijadikan arah panduan dalam mengambil keputusan atau tindakan. Kode etik merupakan suatu sistem norma, nilai, serta aturan profesional yang dengan tegas menyatakan hal baik dan benar.

Dasar pondasi kode etik adalah prinsip-prinsip moral yang dapat menjadi penilai apakah tindakan seseorang itu benar atau salah. Prinsip moral tersebut diantaranya adalah menghargai individu, memprioritaskan hak asasi manusia, tidak mengeksploitasi orang, menjunjung nilai kemanusiaan (nguwongke uwong dalam bahasa Jawa), menjaga lingkungan dan komunitas masyarakat sekitar, dan mendahulukan kepentingan umum atas kepentingan individu, serta nilai-nilai kebaikan umum lainnya semisal keadilan, toleransi, kasih sayang, kemurahan hati, kejujuran, integritas, keberanian, dan kebijaksanaan.

Menariknya, pengetahuan mengenai kode etik ini seperti tidak umum bagi praktisi Kesehatan Keselamatan Kerja (K3), jarang diungkap dalam kurikulum pembelajaran, apalagi dijadikan standar tingkah laku dalam bekerja.

Ketika profesi lain semisal dokter, perawat, insinyur, pilot, akuntan, pengacara, atau jurnalis menjadikan kode etik sebagai bagian melekat dalam tindak tanduk kepakarannya, kode etik seakan-akan tidak mendapat tempat yang layak di komunitas praktisi K3.

Hal ini menyebabkan dilema yang krusial, fatal, dan menyedihkan ketika melihat praktik-praktik buruk dalam pengelolaan keselamatan kerja yang tidak mengindahkan kode etik profesi. Berikut kita diskusikan beberapa diantaranya.

Nguwongke Uwong (Memanusiakan Manusia)

Mudah menyalahkan (blaming) dan menghina (shaming) pekerja. “Pekerja bodoh”, “hal sederhana/logis seperti itu kok tidak tahu”, “apakah mereka tidak memikirkan bahaya?”, mempermalukan pekerja di forum umum, dll adalah ungkapan atau perbuatan yang menyudutkan pekerja lapangan (sharp end worker). Para penghujat seakan-akan tidak melihat sistem kerja secara menyeluruh, apakah pekerja sudah dilengkapi dengan pelatihan yang memadai, peralatan yang sesuai, waktu yang cukup, atau sumber daya yang mendukung lainnya.

Bahkan tak segan, menyalahkan korban kecelakaan yang sudah meninggal, dengan menempelkan label human error (kesalahan manusia) yang ambigu maknanya. Melemparkan tanggung jawab dan tanggung gugat pada orang yang sudah tidak dapat membela dirinya lagi (sudah berada di dalam kuburan).

Hal di atas (menyalahkan korban) tidak disadari bisa menimbulkan “korban” baru pasca kecelakaan. Misalnya, keluarga korban jadi memandang rendah kompetensi almarhum ayah yang sebelumnya dikenal sebagai pekerja keras, kehilangan kebanggaan terhadap sosok yang selama ini dikenal keluarga sebagai pribadi yang ulet dan tekun dalam bekerja (karena dicap tidak kompeten atau berbuat error sehingga menyebabkan kematian tragis). Sidney Dekker menyebut fenomena ini sebagai “second victim”.

Pekerja tidak bodoh, mereka ke tempat kerja bukan dengan niat mau celaka. Mereka mencari nafkah, tidak jarang sebagai satu-satunya tulang punggung keluarga. Apakah orang seperti itu memiliki niat untuk mencelakakan dirinya sendiri?

Jika saja kita mau memahami kompleksitas sistem sosio-teknikal tempat kerja yang tidak bisa disederhanakan dengan garis lurus investigasi kejadian (simple linear causation), tidak bisa dijelaskan dengan melihat dari satu sisi prosedur saja (perspektif work as done vs work as imagined), mau memperhatikan timbulnya karakter yang baru muncul (emerging property) ketika berbagai faktor saling berinteraksi di dalam sistem kerja, tentu kita akan lebih dapat memahami mengapa pekerja melakukan apa yang mereka lakukan ketika kejadian (memperhatikan prinsip local rationality).

Perlu dipahami, terkadang pekerja tidak memiliki pilihan untuk mencari pekerjaan yang layak lainnya. Apa yang ada di hadapan mereka adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan uang halal, karena keterbatasan akses pendidikan, kemiskinan sistemik, jaringan/networking, atau modal usaha.

Ada juga ketidakseimbangan power (kekuasaan) di tempat kerja. Mereka yang berada di posisi atas kadang merasa lebih berkuasa, mudah memecat atau mempengaruhi keputusan untuk mem-PHK seseorang, merasa lebih pintar, tidak mau mendengarkan masukan, bersikap arogan. Apakah terhadap orang seperti itu, pekerja di level bawah mau dan berani memberikan masukan/menyuarakan pendapat/saran perbaikan di tempat kerja?

Meskipun Undang-Undang No.1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja di pasal 12 mengatur tentang hak pekerja untuk menyatakan keberatan jika syarat K3 diragukan, tentu pekerja tidak akan berani mengekspresikan tuntutan K3 jika keadilan sosial di tempat kerja belum diatasi (ada asimetri informasi antara pekerja dengan pemberi kerja, ketidaksejajaran kekuasaan/otoritas, dan keberpihakan pada pemilik uang).

Memahami kemanusiaan juga bisa berarti kita memperhatikan kelebihan dan keterbatasan fisik dan psikis pekerja, sehingga akan menyesuaikan desain kerja agar lebih ergonomis, mengatur beban kerja fisik ataupun kognitif yang rasional, memperhatikan aspek psikologis, kesehatan mental, ataupun mengantisipasi kesalahan manusia (human error).

Mengutamakan Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa ”tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di pasal 86 juga menyebutkan bahwa “setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja; moral dan kesusilaan; dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama”.

Pekerjaan yang layak (decent work) juga merupakan agenda International Labour Organization (ILO) dan salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals) yang digaungkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Membiarkan pekerja terpapar dengan bahaya jelas melanggar hak asasinya. Maka dari itu, sebagai praktisi K3, kita punya tanggung jawab moral untuk memastikan tempat kerja yang layak. Bahaya sudah dikenali, dianalisis-diukur-dimonitor, dan dikendalikan dengan efektif.

Pengendalian yang efektif sesuai urutan tingkatan (hierarchy of control) ada di tangga paling atas: eliminasi, substitusi dan rekayasa teknik (engineering control). Ketiga hal tersebut harus diutamakan. Jangan hanya mengandalkan pada pengendalian administratif, pelatihan apalagi hanya Alat Pelindung Diri (APD), karena jelas efektifitasnya lebih rendah dan tidak dapat diandalkan/reliable.

Membuat sistem ventilasi udara untuk menangkap welding fume (debu partikel halus yang melayang di udara) lebih efektif dari memaksa pengelas menggunakan masker ber-filter/cartridge disamping helm pengelas.

Maka praktisi K3 harus mau belajar ilmu terkait/yang dibutuhkan semisal higiene industri, rekayasa teknik agar bisa memberikan tempat kerja yang benar-benar selamat, bukan hanya sekedar mengancam/menakuti dengan hukuman/konsekuensi kalau prosedur tertulis tidak dipatuhi, padahal prosedur tersebut belum tentu efektif dalam mencegah kontak bahaya ke pekerja.

Transparansi dan Kejujuran

Tanpa berpegang teguh pada kode etik profesi, praktisi K3 bisa jadi tidak ragu untuk memanipulasi laporan, menutupi kecelakaan, men-down-grade tingkat kecelakaan, berkolusi dengan auditor atau inspektor untuk menutupi temuan, menyuap regulator, atau mengarang dokumentasi/record pelaksanaan.

Transparansi dalam memberikan informasi mengenai kondisi bahaya di tempat kerja kepada para pekerja merupakan hal penting. Karena itulah praktisi K3 harus terus mengasah kompetensi dan pengetahuan diri agar tetap relevan dengan keilmuan K3 sehingga memiliki kapasitas untuk membedakan antara informasi yang didukung oleh bukti ilmiah dan berita hoax yang menyesatkan; memahami dan mematuhi regulasi yang berkaitan; serta mampu memberikan saran yang independen, netral/tidak memihak, obyektif, kredibel, dan dapat dipercaya.

Jujur dapat diartikan sebagai ‘sesuai dengan fakta/kenyataan’ atau bebas dari penipuan/manipulasi. Sedang obyektif adalah bertindak sesuai fakta, tidak bias karena ada kepentingan, keyakinan, atau perasaan.

Untuk itulah, praktisi harus terbebas dari konflik kepentingan (conflict of interest). Contoh kondisinya misal jika praktik tidak selamat yang dilakukan perusahaan bisa berujung penutupan operasional, sehingga praktisi K3 akan kehilangan mata pencaharian, bisa jadi kita akan sulit untuk bertindak obyektif dan enggan untuk melaporkannya ke pihak yang berwajib/berwenang.

Contoh conflict of interest lainnya misalnya jika ada komisi yang akan diterima apabila kita memberikan rekomendasi program kerja K3 dengan menyarankan jasa konsultasi Perusahaan Jasa K3 (PJK3) atau produk tertentu. Sedikit banyak hal itu akan mempengaruhi obyektifitas dan independensi dalam menuliskan rekomendasi.

Namun keterbukaan bukan berarti tanpa batas. Dalam konteks tertentu ada batasan kerahasiaan yang justru harus dikawal. Misalnya data kesehatan pekerja, informasi rahasia perusahaan (misalnya formula dagang atau rencana pengembangan bisnis), atau bahkan menjaga anonimitas identitas pelapor dalam sistem whistleblowing (pelaporan rahasia).

Kesetaraan

Hal lain yaitu memperhatikan unsur persamaan hak agar tindakan diskriminatif atau rasialis dapat dicegah. Ketika kita saling menghargai, memberikan ruang untuk berekspresi dan peluang yang sama untuk berkembang, diharapkan tidak akan ada perbuatan yang merendahkan gender, suku, agama, ras, pilihan politik, atau bahkan disabilitas pekerja.

Dengan adanya keanekaragaman latar belakang pekerja (pengalaman, pendidikan, dst) didukung atmosfir kerja yang inklusif, dan kode etik yang dipegang dengan baik, semoga kinerja keselamatan kerja dapat dibangun dengan baik karena didukung oleh kepercayaan, partisipasi, dan umpan balik yang konstruktif dari pekerja.

 

---000---

Penyusun:

Syamsul Arifin, SKM. MKKK. Grad IOSH.

Praktisi K3 dan mahasiswa S3 manajemen UB

 

Referensi:

·       Ashley Johnson. 2012. Safety ethics. Safety+Health magazine (www.safetyandhealthmagazine.com)

·       Australian Institute of Health & Safety (AIHS). 2019. OHS Body of Knowledge: Ethics and Professional Practice. AIHS, Australia

·       David Koh dkk. 1995. Health and Safety Ethics for Management. Asia-Pacific Journal of Public Health Vol. 8 No. 2

·       Institution of Occupational Safety and Health (IOSH). 2013. Code of Conduct, Guidance and Disciplinary Procedure. IOSH, Inggris

·       International Commission on Occupational Health (ICOH). 2014. International code of ethics for occupational health professionals. ICOH, Italia

·       Jagdish Patel dan Siddarth David. 2016. Ethics in occupational health and safety: case studies from Gujarat. Indian Journal of Medical Ethics Vol I No 4

·       Maryam Tayyab Khan. 2019. Importance of ethics in workplace health. Workplace Health Without Borders (www.whwb.org)

·       Rob Long. 2015. The Ethics of Safety. www.SafetyRisk.net

·       Robert H. Hill Jr. 2003. The Safety Ethic: Where can you get one? Chemical Health & Safety, May/June

·       Thomas Krause. 2007. The Ethics of Safety. EHS Today (www.ehstoday.com).


Tulisan ini dimuat juga di Majalah Katiga edisi November - Desember 2021

Postingan terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar