24 Januari 2023

Bias Perspektif ketika ada Kegagalan

Ada petuah yang menyarankan, kalau ingin bisa memahami orang lain, kita justru harus memahami diri sendiri terlebih dahulu. Terdengar aneh ya, tapi sepertinya di situ kunci keberhasilannya.

Sidney Dekker di buku The Field Guide to Understanding ‘Human Error’ menyebutkan bahwa untuk dapat memahami kegagalan pekerja, kita harus terlebih dahulu memahami bagaimana diri kita merespon atau bereaksi terhadap kegagalan (orang lain). Secara umum, reaksi seseorang ketika mendengar atau menganalisis kegagalan manusia bisa dikelompokkan menjadi empat hal, yaitu retrospektif, proksimal, counterfactual, dan judgmental.

Pertama, retrospektif, yaitu melihat ke belakang atau menelusuri kembali suatu kejadian di masa lalu secara berurutan (a -> b -> c -> dst). Kedua, proksimal, yakni fokus pada orang-orang yang secara ruang dan waktu dekat dengan kejadian. Ketiga, counterfactual atau secara harfiah berarti kontras atau berlawanan dengan fakta. Menjabarkan apa saja yang seharusnya dilakukan oleh orang yang terlibat dengan kejadian untuk menghindari konsekuensi yang sudah ditahui hasil akhirnya. Terakhir, judgmental (mudah menghakimi), menuduh pekerja/orang tersebut tidak melakukan apa yang (kita percaya) seharusnya dilakukan, atau mempertanyakan mengapa orang tersebut tidak memperhatikan sebuah informasi yang kita sekarang tahu merupakan hal yang penting/kritikal.

Investigator kecelakaan sering lupa bahwa mereka memiliki banyak keuntungan informasi yang berlimpah terkait detail insiden/kejadian, bahkan melebihi orang-orang yang terlibat langsung pada saat kejadian. Investigator telah membaca prosedur-laporan-buku manual-lesson learn-dst dengan lebih teliti karena memiliki waktu yang lapang.

Berbeda dengan pekerja ketika kejadian, bisa jadi informasi tersebut munculnya mendadak, waktunya mepet karena ada banyak hal yang juga harus diperhatikan atau dilakukan, dan punya prioritas yang berbeda pada saat kejadian.

Pengetahuan yang banyak itu, bisa mengakibatkan bias hindsight dan bias outcome yang merugikan investigator. Memberikan perspektif yang berbeda terhadap jalannya kejadian yang sesungguhnya karena sudah mengetahui hasil akhir suatu tindakan atau keputusan.

Bias hindsight akan membuat para investigator melakukan penilaian (assessment) risiko-probabilitas yang tidak sesuai dengan konteks ketika kejadian, dan menganggap seharusnya orang lain/pekerja dapat melakukan hal yang sama dalam memprediksi sehingga bisa mencegah hasil akhir atau konsekuensi suatu kejadian.

Sementara outcome bias terjadi karena para investigator sudah mengetahui hasil akhir kejadian, sehingga membuat mereka lebih mudah dalam memilih alternatif pilihan yang paling baik. Akibatnya, investigator akan cenderung menghakimi proses pengambilan keputusan pekerja, bahkan tidak jarang menghakimi pekerja dengan cara yang tidak etis (membodoh-bodohi, memaki, dst).

Ilustrasi terowongan dapat memudahkan perbedaan antara  investigator sebagai orang luar (outsider) dengan pekerja sebagai orang dalam (insider) yang mengalami kejadian.


Dalam perspektif orang di luar kejadian atau di luar terowongan, kita sudah tahu seluruh jalannya kejadian, semua informasi detail dan analisisnya (diilustrasikan dengan belokan dan jebakan dalam terowongan), dan hasil akhir yang tidak menguntungkan (ujung terowongannya).

Sedang dalam perspektif pekerja, orang yang berada di dalam terowongan, bagi mereka, informasi baru terkuak ketika mereka melangkahkan kaki, informasi terbagi sedikit demi sedikit. Tidak melihat belokan-belokan yang menanti mereka ketika ber-progress/bergerak, dan belum mengetahui ujung yang akan mereka temui.

Untuk itu, agar dapat memahami kesalahan atau kegagalan manusia, kita harus menempatkan diri pada posisi pekerja, bahasa kerennya memahami local rationality. Berdiri dari sudut pandang mereka, dan mencoba memahami mengapa keputusan/hal yang mereka ambil saat itu nampak masuk akal bagi mereka, why things make sense for them –at that moment, dengan mempertimbangkan pengetahuan-pelatihan-kondisi yang saat itu mereka punya.

Bias hindsight dan outcome dapat membuat investigator terlalu menyederhanakan (oversimplify) kompleksitas kejadian, menggiring perspektif kejadian dengan sudut pandang yang sederhana (simple), berurutan (linear), dan lebih dapat diprediksi (predictable) ketimbang kejadian sesungguhnya.

Hal selanjutnya yang perlu juga dipahami yakni proksimal. Dalam dunia medis, ada istilah proksimal dan distal. Proksimal artinya lebih dekat dengan batang tubuh atau pangkal, sedang distal maksudnya lebih jauh dari batang tubuh atau pangkal. Dalam memahami fenomena sosial, konsep ini dapat juga dipergunakan.

Yang sering menjadi fokus perhatikan ketika ada kegagalan atau kecelakaan adalah orang-orang yang berada paling dekat dalam konteks ruang dan waktu pada saat kejadian perkara. Selain orang yang menyebab kecelakaan, orang lain yang terlibat atau berada di lokasi kejadian biasanya juga akan menjadi sorotan karena dianggap mempunyai potensi untuk dapat mencegah kejadian.

Kita akan mudah sekali menganggap merekalah sumber penyebab kegagalan. Asumsinya, jika tidak ada mereka atau jika mereka bisa bertindak lebih tepat, tentu kecelakaan tidak akan terjadi.

Padahal, menurut Profesor James Reason, berbuat salah (error) adalah suatu hal yang normal, sewajar kita menghirup udara setiap hari. Semua orang rentan dan pasti melakukan kesalahan. Bukan hanya pekerja di lapangan, tapi juga pekerja yang duduk di kantor semisal pembuat jadwal, program kerja, peraturan, kebijakan, dst.

Ada kesalahan (error) yang langsung menghasilkan kejadian atau kegagalan, ada juga kesalahan yang tidak langsung menyebabkan kejadian/kegagalan. Kesalahan yang pertama disebut active error, sedang kesalahan yang kedua disebut sebagai latent error atau bisa juga disebut latent condition.

Active error biasanya dilakukan oleh pekerja lapangan/front-line worker, atau bisa juga kita sebut sharp end worker, ‘pekerja yang memutar baut’ di lapangan. Sedang latent error dilakukan oleh orang-orang yang mendesain peralatan, pembuat program kerja, atau pengambil keputusan yang dilakukan manajemen atas (top management), atau bisa juga kita sebut blunt end worker.

Bentuk active error bisa berupa slips, lapses, ataupun mistakes. Berbeda dengan active error yang langsung terlibat dampak atau perubahan di kondisi kerja, pada latent error -saya ambil contoh misalnya perubahan atau keputusan strategik yang diambil manajemen- dampak buruk yang dapat dihasilkan keputusan manajemen bisa terwujud melalui dua mekanisme, yakni mendorong produksi kesalahan aktif dan membuat safeguard menjadi lemah.

Latent error bisa menciptakan kondisi yang mendorong terjadi kesalahan atau error trap bagi pekerja lapangan, misalnya pemotongan jumlah tenaga kerja, yang dapat menyebabkan kekurangan personil (understaffing), kelelahan (fatigue), tekanan waktu kerja, dst.

Latent error juga bisa membuat safeguard menjadi lemah. Misalnya pemotongan anggaran atas pekerja ahli/kompeten dan pengurangan program perawatan (maintenance), sehingga bisa menyebabkan desain peralatan atau konstruksi plant yang tidak memadai, alarm atau indikator yang tidak reliable karena minim perawatan, atau dibuatnya prosedur yang buruk atau tidak berguna.

Kondisi laten dapat mengendap lama atau bertahun-tahun di dalam sebuah organisasi tanpa menyebabkan dampak langsung, ia baru bisa terwujud jadi kegagalan kalau terusik oleh active error yang dilakukan sharp end worker.

Memahami sistem secara menyeluruh, adanya sharp end (pekerja lapangan) dan blunt end (pekerja yang mendukung atau menghambat pekerja lapangan) serta perbedaan kesalahan yang mereka kontribusikan dapat membuat kita menjadi lebih baik dalam memahami kegagalan manusia.

Ada satu cerita menarik dimana bias yang kita bahas di atas terjadi secara kolektif, sehingga terjadi ketidakadilan dalam memahami kegagalan atau kecelakaan, dan beban ini ditumpukkan atau disalahkan pada satu orang saja.

Kejadiannya terjadi pada 21 November 1989 di Inggris. Ada pesawat Boeing 747 milik British Airways dengan call sign “November Oscar” yang terbang dari Bahrain International Airport ke London Heathrow Airport membawa 255 penumpang.

Di dalam perjalanan, karena menyantap menu makan malam sebelum terbang, co-pilot dan flight engineer mengalami diare parah. Mengakibatkan kapten bertugas sendirian selama berjam-jam penerbangan. Co-pilot bahkan sempat beberapa jam meninggalkan kokpit pesawat setelah menggunakan obat pain killer. Kondisi ini diperparah dengan sistem autopilot pesawat yang juga mengalami gangguan.

Mendekati bandara Heathrow, ada cuaca buruk. Mereka melakukan pendaratan dengan keterbatasan pandangan, kabut tebal, dan hanya mengandalkan instrument pesawat. Ketika percobaan pendaratan pertama, karena autopilot mengalami kesulitan mengunci jalur pendaratan, pilot melakukan manuver memutar balik (go-around), namun karena posisi sudah begitu rendah, pesawat hampir menabrak hotel yang tingginya 21 meter dengan hanya jeda tipis sejauh 3,5 meter. Bunyi raungan mesin pesawat bahkan mengaktifkan alarm mobil yang parkir di daratan. Ketika percobaan pendaratan selanjutnya, pilot berhasil mendaratkan pesawat dengan selamat.

Setelah beberapa hari, Kapten Steward, sang pilot yang memiliki 15 ribu jam terbang akhirnya disidang dengan tuntutan membahayakan keselamatan penumpang. Fokus perhatian tertuju pada pengambilan keputusan kru pesawat (sharp end worker). Mengapa mereka tidak membatalkan pendaratannya lebih cepat? Mengapa tidak mengalihkan pendaratan di bandara lain? Dst.

Pertanyaan-pertanyaan yang menyerang itu tidak menyoroti peran blunt end worker yang lain semisal petugas tower controller bandara, fleet manager maskapai, dokter yang memberikan izin kru untuk tetap terbang, dan kompleksitas prosedur mendarat dengan hanya mengandalkan pada instrumen tanpa ada co-pilot yang membantu. Dalam persidangan, kapten dinyatakan bersalah, didemosi/diturunkan pangkatnya menjadi co-pilot dan dihukum denda. Kisah tidak berhenti sampai di sini.

Beberapa waktu kemudian. Di suatu pagi, kapten Steward keluar rumah tanpa pamit dengan istrinya, ia berkendara selama 9 jam menuju pantai di kota kelahirannya. Di tempat parkir, ia mengambil selang dan menghubungkannya dengan knalpot mobil yang masih menyala, memasukkan ujung satunya ke dalam mobil lewat jendela yang sedikit terbuka. Sambil memandangi pantai kenangan masa kecilnya, ia berdiam diri di dalam mobil. Lama-kelamaan gejala afiksia datang menyerang, Steward kehilangan kesadaran, henti jantung, sampai akhirnya meninggal di tempat.

Maskapai penerbangan memang berhasil menyelamatkan reputasinya dengan mengalihkan kegagalan pendaratan ke aktor proksimal yang menurut pengadilan telah bertindak sembrono dan tidak dapat diandalkan. Namun tidak diduga, malah jatuh korban di sisi lain, pasca kejadian.

Menyalahkan itu mudah, cepat, dan memenuhi kebutuhan emosional, namun dampak negatifnya jangan dilupakan. Kehilangan proses pembelajaran sistemik, membuat cedera lebih banyak pihak, dan melanggengkan kesewenangan penindasan dari otoritas yang memiliki kekuasaan lebih (power abuse) atas aktor yang sudah berjuang mati-matian untuk bisa mencapai tujuan operasional di tengah keterbatasan, constrain, dan tarikan kepentingan. Suatu pola yang dengan mudah masih bisa kita temui sampai hari ini. Akankah pola seperti ini terus berulang?

 

 

---000---

Penyusun:

Syamsul Arifin, SKM. MKKK. Grad IOSH.

Praktisi K3LH.


Referensi:

  • Sidney Dekker. 2019. Foundations of Safety Science - A Century of Understanding Accidents and Disasters. CRC Press
  • Sidney Dekker. 2014. The Field Guide to Understanding 'Human Error'. CRC Press
  • Stephan Wilkinson. 1993. The November Oscar Incident. Majalah Air and Space Smithsonian.



Tulisan ini dimuat juga di Majalah Isafety edisi Desember 2022

Postingan terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar