04 Januari 2021

Mendefinisikan Ulang Keselamatan Kerja

Ditinjau dari perspektif sejarah, dapat dimaklumi kenapa definisi keselamatan selalu dikaitkan dengan pengertian “kondisi bebas/tidak ada bahaya dan cedera”.

Ketika kita mengalami cedera, manusia meresponnya bukan hanya secara fisiologis, tapi juga psikologis, dan sosial. Kita akan coba mencari tahu penyebab dan mengkategorisasikan kondisinya, sehingga mudah diingat dan dikenali.

Maka dari itu, fokus keselamatan lebih ke arah pencegahan (prevention) atau menghilangkan (elimination) bahaya dan risiko. Lebih bersifat reaktif.

Sebagian besar paradigma keselamatan dimulai dari kejadian/kecelakaan, kemudian diikuti oleh penilaian (assessment) tingkat risiko (peluang dan keparahan), identifikasi penyebab, mencari solusi mitigasi, kemudian terakhir penerapan langkah mitigasi sampai ke tingkat yang diinginkan/diperbolehkan.

Dalam konteks kejadian/kecelakaan yang rutin/dapat diduga, “kondisi bebas dari bahaya dan cedera” dapat dicapai dengan 5 langkah hirarki pencegahan, bisa dijalankan secara terpisah ataupun kombinasi beberapa langkah bersamaan.

Pertama eliminasi, dengan menghilangkan aktifitas atau elemen berbahaya dari sistem kerja. Kedua adalah desain ulang/rekayasa teknik, bisa berupa perbaikan teknologi atau organisasi. Ketiga adalah pencegahan, dengan memasang pelindung (barrier) aktif ataupun pasif yang dapat mencegah/menghentikan kejadian abnormal. Keempat, perbaikan pengawasan (monitoring), untuk menghilangkan ketidaksiapan/keterkejutan akibat kejadian. Dan terakhir adalah dengan melindungi/mengurangi konsekuensi jika kejadian darurat terjadi.

Namun, pada konteks kejadian yang tidak rutin/tidak dapat diprediksi, tidak banyak yang dapat dilakukan. Isunya ada pada aspek ekonomi. Tindakan pengendalian pada kejadian/kecelakaan rutin dapat dianggap sebagai pembiayaan-efektif (cost-effective), sedang kejadian tidak rutin tidaklah muncul cukup sering sehingga tidak dapat dijadikan justifikasi untuk investasi program pencegahan dan pengendaliannya.

Situasi tersebut menjadi sangat sulit pada kejadian yang tidak pernah muncul sebelumnya, seperti yang terjadi pada Chernobyl atau Fukushima. Hasil analisis setelah kejadian yang detail bisa memberikan rasa selamat secara psikologis, tapi sebetulnya tidak banyak perbaikan mendasar yang dapat dilakukan.

Meskipun respon terhadap kecelakaan biasanya disajikan secara rasional, penuh perhitungan teknik, namun secara tidak langsung dapat kita amati besarnya aspek emosional di dalamnya. Ketika hal buruk terjadi, kebutuhan untuk ‘merasa’ selamat terkadang lebih mendominasi dibandingkan kebutuhan untuk ‘menjadi’ selamat.

Contoh hal tersebut bisa ditemukan pada kasus Boeing 787 Dreamliner. Pada rentang Desember 2012 sampai Januari 2013, ada beberapa pesawat yang mengalami masalah dengan baterai, bisa jadi rusak atau terbakar. Pada 16 Januari, Federal Aviation Administration (FAA) mengeluarkan emergency airworhiness directive grounding. Boeing kemudian segera mencari tahu akar penyebab masalah ini.

Maret 2013, setelah lebih dari 500 engineer dengan lebih dari 200,000 jam kerja menganalisis, merekayasa, dan menguji, Chief Engineer Dreamliner menyatakan bahwa Boeing tidak dapat menemukan penyebab pasti panas berlebih pada baterai. Mereka telah memeriksa 80 potensi yang dapat menyebabkan baterai terbakar, mengelompokkannya ke dalam 4 kategori, dan membuat desain solusi untuk setiap kategori. April 2013, FAA menyetujui modifikasi dan menyatakan pesawat laik untuk terbang.

Makna tradisional keselamatan (safety-I) adalah ‘tanpa/tiada’ (without) –yang berarti kita akan selamat jika tiada kejadian yang tidak diinginkan (kegagalan atau kerusakan) atau tanpa konsekuensi negatif (cedera atau penyakit).

Konsekuensi dari hal itu adalah usaha besar untuk memastikan kondisi ‘tanpa’ ini akan muncul dan terjaga dengan langkah eliminasi, pencegahan, atau perlindungan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

Benang merah usaha tersebut diringkas oleh prinsip “defence in-depth” (perlindungan yang berlapis). Istilah ini kemudian diperluas dan dipakai untuk barriers secara umum, diilustrasikan dengan baik oleh model keju Swiss (Swiss cheese model).

Pendekatan ini telah diterima luas selama beberapa dekade dalam lingkungan kerja sociotechnical (desain kerja organisasi yang kompleks dengan interaksi antara manusia dan teknologi di tempat kerja). Tidak ada istilah yang lebih baik, lebih stabil, dan lebih dapat diprediksi, karena tingkat perubahan dan penemuan untuk rentang masa tersebut memang rendah, sehingga mudah untuk dikelola.

Di pertengahan abad ke-20, hal berbeda terjadi. Ada perubahan akibat 2 faktor, peningkatan daya temu manusia dan usaha gigih untuk penguasaan/kelihaian pengelolaan dunia di sekitar kita. Efek kombinasi dari kedua hal itu telah menghasilkan situasi dinamis yang tidak stabil (dynamically unstable situation) dimana kita memperkenalkan solusi yang kita tidak mampu kendalikan untuk mengelola sistem yang tidak kita mengerti.

Dalam kata lain, kita mempergunakan kekuatan teknologi untuk mengkompensasi ketidakmampuan kita terhadap apa yang telah kita buat.

Dilema dalam mendesain sistem sosio-teknikal (sociotechnical) seperti ini adalah kita sedang mencoba memecahkan masalah hari ini (today’s problem) dengan pola pikir –model, teori, dan metode- masa lalu (yesterday’s mindset), sehingga menyebabkan kerumitan di masa depan (tomorrow’s complexity).

Banyak pemikir di berbagai bidang ilmu mulai memahami bahwa hal ini tidak boleh dibiarkan, maka dari itu harus ada solusi yang lain. Salah satu contoh solusi atas perlunya pemikiran yang berbeda ini adalah pengembangan konsep resilience engineering.

Contoh lainnya adalah konsep safety-II.

Dalam grammar, privative adalah imbuhan kata yang meniadakan atau menjadi kebalikan arti kata, misalnya un- dalam kata unprecedented atau in- dalam kata incapable. Sebagai analogi, safety-I dapat dianggap sebagai privative karena didefinisikan oleh lawan artinya, oleh kondisi dimana tidak ada keselamatan. Hal itu telah diamati oleh James Reason yang menganggap definisi keselamatan saat ini sebagai safety paradoks.

Definisi selamat, bebas/tidak ada bahaya dan cedera, berarti ketiadaan ‘tidak selamat’, ketimbang menjelaskan makna selamat itu sendiri. Praktik yang selama ini kita lihat sebagai praktisi adalah berusaha untuk lebih selamat dengan mempelajari situasi yang telah dikenali sebagai ketiadaan selamat: “learning from accident” (belajar dari kecelakaan).

Contoh analogi fisika dari privative adalah dingin. Semua fisikawan akan menjelaskan bahwa tidak ada dingin, yang ada adalah kekurangan panas. Meskipun kita berkata ‘kita menutup pintu agar dingin tetap di luar’, pada hakikatnya, tidak ada dingin di luar yang kita cegah untuk masuk ruangan. Kita menutup pintu agar panas tetap berada di dalam ruangan.

Kita tidak bisa menjadi lebih hangat/panas dengan cara mengurangi dingin. Kita hanya bisa menjadi lebih hangat/panas dengan meningkatkan panas.

Dengan analogi itu terhadap keselamatan, kita tidak bisa meningkatkan keselamatan dengan mengurangi angka kecelakaan, karena kecelakaan menunjukkan ketiadaan selamat. Kita hanya bisa meningkatkan keselamatan/menghilangkan kecelakaan dengan berbuat hal yang benar lebih sering.

Mengukur dingin sama dengan mengukur kecelakaan. Mengukur panas sama dengan mengukur hal-hal yang benar/keselamatan.

Guna lebih menjelaskan maksud definisi safety-II, kita bisa melakukan parafrasa definisi sehat menurut World Health Organization (WHO). Menurut WHO, sehat adalah keadaan yang sempurna baik fisik, mental maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan/cacat.

Diterapkan dalam konteks keselamatan, maka kita bisa mendefinisikan selamat adalah kemampuan organisasi untuk melakukan hal yang diperlukan baik dalam kondisi yang telah diperkirakan atau tidak diperkirakan dan bukan hanya ketiadaan hasil yang tidak diinginkan (the ability of an organization to perform as required under both expected and unexpected conditions and not merly the absence of unwanted outcomes).

Dalam analogi fisika, safety-II bersesuaian dengan panas, sedang safety-I bersesuaian dengan dingin. Juxtaposition atau penjajaran safety-I dan safety-II ini bermanfaat untuk semakin menjelaskan perbedaan antara kedua konsep –yang satu berhubungan dengan kata ‘tiada/tanpa’ (without) sedang yang satunya ‘dengan’ (with).

Meskipun menjadi semakin jelas, muncul kesulitan lainnya. Safety-I dan safety-II keduanya homograf (sama tulisan safety-nya) dan homophone (sama bunyi safety-nya), tapi tidak homonin (berbeda maknanya). 


Hal ini jelas tidak diinginkan dan tidak praktis. Akan membuat bingung dalam diskusi, apakah seseorang mempergunakan istilah selamat dalam interpretasi safety-I ataukah safety-II. Jalan termudah adalah dengan mencari padanan kata lain dari safety-II. 

Untungnya, ada istilah yang bermakna ‘dengan’ –bukan ‘tiada bahaya atau cedera’- namun bermakna ‘dengan hasil akhir yang positif atau diinginkan’.

Kata itu adalah synesis, kata retorik tradisional dari Yunani (yang aslinya bermakna persatuan, pertemuan, merasa, padat, wawasan, realiasi, pikiran, alasan). Synesis bisa didefinisikan sebagai kondisi dimana berbagai aktifitas pekerjaan berpadu untuk menghasilkan hasil keluaran yang diinginkan.

Individu/pekerja tiap aktifitas mungkin saja tidak saling bersesuaian atau berkonflik, tapi kesulitan-kesulitan itu bisa diatasi dengan synesis, dengan perpaduan/sintesa aktifitas-aktifitas yang diperlukan dalam sistem sociotechnical hari ini sehingga dapat berfungsi sebagaimana diinginkan dan didisain.

Jika kita berbicara tentang synesis di rumah sakit atau di lokasi kontruksi, maksudnya adalah setiap bagian/departemen/fungsi yang diperlukan saling bergantung untuk melakukan tujuan organisasi dengan memperhatikan kriteria yang terkait semisal efisiensi (penggunaan sumber daya yang proporsional), reliability/keandalan (dengan tingkat prediksi yang tinggi), dan kualitas yang dapat diterima.

Tidak perlu secara eksplisit menyebutkan keselamatan, karena faktanya, kinerja pekerjaan berjalan dengan baik/sukses tanpa ada hasil yang tidak diinginkan. Penggunaan kata synesis menandakan keselamatan/safety dengan makna positif (dengan kapasitas), bukan bermakna ketiadaan kecelakaan (without).

Definisi baru ini juga menyelesaikan masalah semantik. Banyak sektor industri yang mempertentangkan antara kualitas dan keselamatan, meski ada yang menganggap kualitas sebagai bagian dari keselamatan. Dikotomi yang sama juga terjadi antara aspek keselamatan dan produktifitas, produktifitas dan kualitas, dan seterusnya.

Kita bisa melihat proses kerja dari sudut pandang keselamatan, kualitas, produksi, dll, tapi sudut pandang itu hanya memperhatikan satu sisi saja, padahal sangatlah penting bagi kita untuk dapat memahami dari semua sudut pandang yang ada, dan hal itu bisa dicapai dengan penggunaan definisi baru keselamatan, yaitu synesis.

 


---000---


Penyusun:

Syamsul Arifin, SKM, MKKK.

Praktisi K3 dan mahasiswa S3 UB.

 

Referensi: Hollnagel, Erik. 2018. Safety-II in Practice. Routledge, Inggris.


Tulisan ini dimuat juga di majalah Katiga edisi Nov-Des 2020

Postingan terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar