19 Juni 2023

Faktor Manusia, Pekerjaan, dan Organisasi

Ada tiga aspek yang memberikan dampak terhadap keselamatan dan kesehatan di tempat kerja yaitu faktor individu, pekerjaan, dan organisasi. Ketiga hal itu dapat disebut juga dengan Performance Influencing Factors (PIF) atau faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja manusia.

Pertama, faktor individu, contohnya adalah kondisi dan kapasitas fisik pekerja; kelelahan (akut dari situasi sementara dan kronis); stres/moral; beban kerja berlebih (overload) atau kurang beban kerja (underload); kompetensi untuk menangani kondisi kerja; dan motivasi vs prioritas hal lain.

Kedua, faktor pekerjaan, misalnya berupa kejelasan tanda, signal, instruksi, atau informasi lain; interface peralatan/sistem (labelling, alarms, error avoidance/tolerance); tingkat kerumitan/kompleksitas pekerjaan; tipe pekerjaan: rutin atau non-rutin; perhatian yang terbagi; prosedur tidak memadai atau tidak sesuai; persiapan pelaksanaan pekerjaan (cth: surat izin kerja, analisis risiko, inspeksi, dst); ketersediaan waktu vs waktu yang dibutuhkan; kesesuaian alat kerja dengan pekerjaan; kondisi lingkungan kerja (kebisingan, panas, pencahayaan, ventilasi, kelapangan ruangan, dll).

Terakhir, faktor organisasi, diantara contohnya yaitu tekanan target kerja (produksi vs keselamatan); gaya dan tingkat pengawasan atau kepemimpinan; komunikasi, antar sesama rekan kerja, pengawas, kontraktor, atau yang lainnya; manning level (keterisian posisi dalam organisasi); peer pressure (tekanan dari rekan kerja); kejelasan peran dan tanggung jawab; konsistensi konsekuensi jika gagal mengikuti prosedur/peraturan; efektifitas pembelajaran organisasi (learning from experiences); dan budaya organisasi.

Sebuah pekerjaan harus sesuai dengan prinsip-prinsip ergonomi yang memperhatikan keterbatasan dan kekuatan manusia. Ketidaksesuaian antara kebutuhan pekerjaan dan kapasitas manusia dapat menyebabkan kesalahan.

Pada faktor individu dapat terjadi kesalahan aktif (active error), sedang di faktor pekerjaan dan organisasi dapat terjadi kesalahan pasif (passive error) sehingga membuat jebakan kesalahan (error trap) -beberapa ahli menyebutnya juga sebagai kondisi laten (latent condition) karena ia tersembunyi di dalam pekerjaan atau organisasi, tidak serta merta menimbulkan kegagalan/kecelakaan, ia baru terlihat ke permukaan menjadi kegagalan serius jika bertemu dengan kesalahan aktif.

Jebakan kesalahan (error trap) sebisa mungkin harus diidentifikasi sebelum terjadi kegagalan jika ingin melakukan langkah proaktif pencegahan kecelakaan. Pekerja harus mengidentifikasi, menganalisis, dan mendiskusikan jebakan kesalahan yang mungkin terjadi serta mitigasinya sebelum memulai pekerjaan.

Banyak contoh jebakan kesalahan (error trap), diantaranya misalnya langkah kerja di dalam prosedur yang tidak dapat dipenuhi atau tidak efisien jika dilakukan di lapangan; langkah kerja terlalu kompleks atau sulit untuk dimengerti; prosedur tidak memadai, kompleks, atau tidak sesuai; melakukan banyak tugas dalam satu waktu (multi-tasking); situasi kerja yang tidak biasa/non-rutin, jarang dialami atau baru dilakukan; bentuk alat atau desain peralatan yang membingungkan (contohnya bentuk valve terlihat sama); tanda, signal, atau instruksi kerja yang tidak jelas; antarmuka (interface) peralatan, label, panel kontrol, atau penanda alarm yang sulit dipahami; peralatan yang sesuai tidak tersedia atau tidak dipergunakan; pengawas pekerjaan tidak memadai; langkah kerja yang berulang, sepele/terlalu mudah, atau membosankan; kondisi kerja yang sulit (bising, panas, sempit, kurang pencahayaan, ventilasi, kesulitan akses); terlalu mengandalkan pada komunikasi yang baik antar rekan kerja atau ke pengawas; terlalu mengandalkan pada identifikasi bahaya atau ada perubahan yang baru muncul saat bekerja; jumlah pekerja yang kurang (insufficient manning); waktu kerja yang kurang; potensi gangguan atau interupsi; kelelahan; dan tidak memadainya kompetensi pekerja.

Investigasi Kecelakaan


Operasional organisasi/perusahaan saat ini telah berkembang menjadi semakin kompleks dalam konteks sistem sosio-teknikal (sociotechnical system). Sehingga cara memahami kegagalan/kecelakaan pasca kejadian yang menggunakan perspektif simpel linear berpotensi membuat kita kehilangan banyak pembelajaran lebih banyak. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan investigasi kecelakaan agar bisa mengoptimalkan pembelajaran.

Catatan: perspektif simpel linear menyatakan bahwa kecelakaan adalah puncak dari urutan kejadian-kejadian yang saling berurutan. Contoh model linier sederhana misalnya teori domino dan loss causation model. Perspektif kecelakaan lainnya adalah complex linear (energy damage, time sequence, epidemiologi, Swiss cheese) dan complex non-linear (systems-theoretic accident model and process/STAMP, functional resonance accident model/FRAM).

Investigasi kecelakaan tidak boleh berhenti pada kesalahan aktif (active error) yang dilakukan pekerja lapangan. Kesalahan aktif pekerja bukanlah penyebab kecelakaan, ia merupakan penanda dari masalah yang lebih besar di dalam sistem kerja. Investigasi kecelakaan harus mampu mengungkap jebakan kesalahan (error trap).

Investigasi kecelakaan harus bisa memberikan pembelajaran organisasi dengan memberikan gambaran kejadian yang mendetail sehingga pembaca laporan investigasi dapat memahami konteks dan situasi kejadian dengan baik. Termasuk dapat memberikan informasi mengenai tantangan, hambatan, keterbatasan (constrain), tarikan kepentingan (conflict of interest), tuntutan/tekanan yang dialami pekerja lapangan serta pengetahuan informasi dan pengalaman yang dimiliki mereka saat itu. Sehingga pihak luar yang membaca laporan dapat memahami mengapa tindakan atau keputusan yang diambil oleh pekerja lapangan tampak masuk akal bagi mereka ketika itu. Hal itu disebut sebagai pemahaman terhadap local rationality.

Investigasi kecelakaan juga harus dapat mencakup analisis perilaku atau pengambilan keputusan dari beberapa orang, bukan hanya pekerja front line di lapangan yang melakukan active error, tapi juga menganalisis perilaku atau pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pekerja yang mengawasi pekerjaan, memberikan dukungan operasional atau teknis, mendesain peralatan, membuat jadwal rencana/program kerja, dan pengambil keputusan strategis yang dapat mempengaruhi pekerja lapangan.

Pekerja lapangan yang melakukan kesalahan aktif disebut sebagai sharp end worker, sedang pekerja yang  disebutkan belakangan (membuat latent condition) di atas disebut sebagai blunt end worker.


Keselamatan adalah karakter yang baru muncul (emergent property) dari sistem sosio-teknikal kompleks yang dipengaruhi oleh keputusan dari banyak pihak –pembuat regulasi, manajer, engineer, planner, dst- bukan hanya dari pekerja lapangan saja. Maka dari itu, peran, pengaruh, dan hubungan yang berinteraksi antar aktor pada semua tingkat di dalam sistem sosioteknikal perlu diperhatikan.

Terakhir, rekomendasi investigasi kecelakaan harus lebih banyak berfokus pada perbaikan di aspek rekayasa teknik (engineering control) ketimbang fokus pada perbaikan administratif dan pengamatan perilaku/kepatuhan pekerja. Kita tidak bisa mengubah karakteristik sifat bawaan manusiawi, tapi kita bisa mengubah kondisi lingkungan kerja yang akhirnya akan mengubah/mempengaruhi perilaku pekerja, seperti kata Profesor James Reason, we cannot change the human condition, but we can change the conditions under which people work.

 

---000---

 

Penyusun:

Syamsul Arifin, SKM. MKKK. Grad IOSH.

Praktisi K3LH.

 

Referensi:

Society of Petroleum Engineers (SPE). 2021. White paper: Are you implementing Human Factors/Human Performance as per the industry guidance? SPE Human Factors Technical Sections

Health and Safety Executive (HSE) UK. 1999. Reducing error and influencing behaviour. The Stationery Office

Dekker, Sidney. 2006. The Field Guide to Understanding Human Error. Ashgate.


Artikel ini dimuat juga di Majalah Katiga edisi Mei 2023

Postingan terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar