07 Juni 2020

Semua Kecelakaan dapat Dicegah, Benarkah?

Pandangan bahwa 'semua kecelakaan dapat dicegah' telah tersebar luas dan diamini bukan hanya oleh praktisi K3 tapi juga manajemen perusahaan.

Pandangan ini pada akhirnya menelurkan zero vision, visi nihil kecelakaan. Sesuatu yang jadi perdebatan dalam kajian keilmuan K3.

Pendapat bahwa semua kecelakaan dapat dicegah muncul dari zaman pencerahan, sekitar abad-18, ketika Eropa mulai melepaskan cara berpikir dari kepercayaan tradisional dan memisahkan dogma agama.

Sebagai seruan moral yang tidak menginginkan adanya bahaya dan dorongan perbaikan untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.

Juga dipengaruhi paham modernisme, yang meyakini bahwa kita selalu bisa melakukan perbaikan berkelanjutan.

Namun, pandangan ini bisa jadi keliru karena beberapa hal:

Pertama, ada beda yang jelas antara komitmen atau impian dengan probabilitas statistik.

Kegagalan atau kecelakaan di dalam dunia nyata yang kompleks dan memiliki sumber daya yang terbatas secara empiris maupun teoritis tidak akan pernah nihil.

Contoh justifikasi teoritis dan pembahasan bukti empiris studi kasusnya bisa dibaca detail pada kajian Man Made Disaster Theory, Normal Accident Theory, atau High Reliability Organization.

Kedua, paham "semua kecelakaan dapat dicegah" bersandar kuat pada teori jadul Domino. Kita bisa menghindari kecelakaan kalau fokus/mengambil domino yang dapat menjatuhkan domino selanjutnya.

Pada awal pengembangannya, Heinrich menekankan pentingnya faktor kondisi dan pelindung fisik, tapi kemudian ia menggeser fokus pada 'menghilangkan tindakan tidak selamat pekerja'.

Jika kita bisa menghambat jatuhnya suatu domino, kecelakaan bisa kita cegah.

Teori Domino Heinrich terdiri dari 3 pokok utama: kecelakaan terjadi secara linear/berurutan, ada rasio perbandingan yang tetap antar kategori kecelakaan, dan tindakan tidak selamat berkontribusi atas 88% kecelakaan kerja.

Kritik/studi ilmiah telah menunjukkan kesalahan pada ketiga hal tersebut.

Para ahli keilmuan K3 meragukan dasar ilmiah teori ini. Sehingga validitas kesimpulan yang diambil dari teori ini tidak bisa kita pegang keandalannya.

Ketiga, ketika semua meyakini bahwa kecelakaan dapat dicegah, maka pimpinan dan pekerja mendapat tekanan yang di luar kapasitasnya ketika terjadi kecelakaan.

Tekanan pada pimpinan karena dianggap tidak menjalankan kewajibannya (bisa terkena tuntutan hukum), jelek reputasinya (mempengaruhi promosi/justru malah demosi).

Sedang tekanan pada pekerja karena dituduh tidak menunjukkan perilaku yang baik di tempat kerja. Bahkan tidak jarang malah mendapatkan surat peringatan atau paling parah kehilangan pekerjaan setelah jadi korban kecelakaan.

Konsekuensi dari tekanan semacam itu apa?

Dampaknya jelas, manipulasi data (bagi atasan) dan menyembunyikan kejadian kecelakaan (bagi bawahan).

Komunikasi yang tidak akan pernah transparan dan akar permasalahan yang akan selalu dormant/tersembunyi dalam organisasi.

Keempat, bukan bebas kecelakaan yang harusnya jadi tujuan kita, tapi fokuslah pada leading indikator yang mempengaruhi keselamatan sebagai pengukuran kinerja.

Keselamatan tradisional diukur oleh angka kecelakaan sebagai variabel dependant yang dipengaruhi oleh faktor lain.

Jika yang jadi patokan adalah variabel yang tidak mampu kita kendalikan secara langsung, akan muncul rasa putus asa, tidak berdaya, baik ketika sebelum ada kecelakaan maupun setelahnya.

Variabel independent/hal-hal yang mempengaruhi keselamatan yang bisa kita kontrol/kendalikanlah yang semestinya mempengaruhi baik/buruknya kinerja kita. Ini yang seharusnya diukur, dipantau, dan diusahakan.

Sepatutnya kita bergeser dari melihat ketiadaan kecelakaan sebagai definisinya keselamatan.

Sudah saatnya kita melihat kapasitas/kemampuan organisasi dan pekerja untuk mencapai tujuan pekerjaan dengan sukses dalam berbagai kondisi yang bervariasi (the ability to succeed under varying condition) sebagai definisi baru keselamatan.

Terakhir, setelah investigasi suatu kecelakaan, kita mengambil kesimpulan yang sederhana: seharusnya kecelakaan sederhana seperti itu tidak perlu terjadi dan dapat dicegah.

Tapi kesimpulan itu dipenuhi kesalahan berpikir/bias, hindsight bias. Kesalahan dalam menarik kesimpulan karena sudah mengetahui hasil akhir suatu kejadian.

Jika kita dihadapkan pada kondisi yang sama, dengan sumber daya yang sama, dan keterbatasan yang sama, dalam konteks motivasi yang sama, bisa jadi kita akan mengambil langkah yang sama.

Di dalam investigasi kita telah mengumpulkan semua detail informasi dari berbagai sumber/pihak, memiliki waktu yang berlebih untuk menganalisis data, mengevaluasi semua opsi pilihan langkah kerja dengan melibatkan semua ahli yang bisa dikumpulkan.

Dalam pekerjaan nyata, hal itu semua tidak bisa dilakukan. Ada keterbatasan sumber daya manusia, alat, kondisi lingkungan yang tidak ideal, waktu, uang, tekanan jadwal, yang bisa memberikan konteks berpikir yang berbeda.

Dan orang di kantor hanya bisa membayangkan bagaimana suatu pekerjaan dilakukan (work as imagined) berdasarkan tulisan/prosedur (work as prescribed) dan cerita pekerja (work as disclosed), yang kesemuanya berbeda dengan pekerjaan ketika benar-benar dilakukan (work as done).



---000---

Penyusun:
Syamsul Arifin, SKM. MKKK. Grad IOSH.
Praktisi K3LH.
www.syamsularifin.org


Referensi:
-          Larry Wilson. 2005. All Injuries Cannot Be Prevented. OHS online magazine
-          Sidney Dekker. 2014. The Field Guide to Understanding 'Human Error'
-          Sidney Dekker. 2015. Safety Differently. Human Factors for a New Era
-          Sidney Dekker. 2019. Foundations of Safety Science
-          Steven Shorrock. 2017. The Varieties of Human Work. Safety Differently website
-          Erik Hollnagel. 2018. Safety-II in Practice.

Postingan terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar