13 Agustus 2020

Terpasung Kausalitas dan Menyalahkan Korban

Manusia memiliki keterkaitan yang sangat erat sekali dengan kausalitas (sebab-akibat).

Hampir segala sesuatu yang ada ingin kita pasangkan hukum sebab-akibatnya.

Penyebab kegagalan, kesuksesan, dan semua hal.

Bahkan untuk peristiwa yang sulit dicerna penyebabnya pun, masih saja dipaksa mencari alasan yang dirasa masuk logika.

Contohnya, sudah berhati-hati tetapi tetap kehilangan sendal/sepatu/barang, pasti akan ada yang nyeletuk "karena kamu kurang beramal sih".

Menyalahkan si korban?!

Heh..., apa hubungannya coba 'kurang beramal' dengan kehilangan sepatu?

Sudah kehilangan sepatu, masih saja dituduh berbuat tidak baik (kurang amal). Sesuai pribahasa, sudah jatuh tertimpa tangga.

Dimana empatinya sis/bro..?

Insting kita membutuhnya suatu penyebab untuk segala sesuatu.

Ilmu psikologi menjelaskan salah satu alasan fenomena ini (menyalahkan korban) dengan konsepsi/pemahaman 'just world hypothesis': tiap orang akan mendapatkan apa yang berhak ia dapatkan (baik ataupun buruk).

Sisi psikologis kita dapat merasa nyaman dengan memahami bahwa kita memegang kendalikan di dunia ini. 

Padahal, dalam beberapa kondisi yang kurang menguntungkan, -misalnya peperangan, kemiskinan, atau bencana alam-, menyadari bahwa hal buruk (terkadang) bisa saja menimpa orang baik.

Pemahaman ini bisa meningkatkan empati/lebih memahami gambaran kejadian yang ada.

Menyalahkan korban, adalah salah satu usaha kita dalam menghindari fakta/pengakuan bahwa terkadang, hal buruk bisa saja menimpa orang yang baik.

Orang terus saja menyalahkan korban, agar dirinya dapat MERASA aman/selamat (karena meyakin bahwa hal buruk tidak akan terjadi pada orang yang baik).

Banyak budaya tidak bisa lepas dari sikap menyalahkan korban.

Ketika kita melihat/mendengar berita kriminal pemerkosaan, pencurian, penculikan, dll, terkadang disadari atau tidak, muncul sikap menyalahkan (korban ataupun orang tua korban) di dalam dada.

Dalam konteks organisasi/industri, menyalahkan orang atas kegagalan (blaming) juga hal yang umum.

Sifatnya top-down, dari manajemen tinggi ke pekerja lebih rendah. Akibatnya, pekerja di level bawah tidak memiliki rasa aman psikologis (psychological safety).

Jika kultur blaming perusahaan sudah terlalu kuat, kita dapat dengan mudah menangkap fenomena problem-solving berubah menjadi problem-avoidance.

Dampaknya akan jelas terlihat dari minimnya pelaporan kecelakaan (karena takut disalahkan) sehingga mempengaruhi pembelajaran (lesson learned), menyembunyikan latent failure (kegagalan yang tidak/belum menimbulkan konsekuensi), dan mengancam kecelakaan yang lebih serius menanti untuk terjadi.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah blaming victim/menyalahkan korban.

Apa saja ya?

Mari mulai diskusinya.


---000---

Depok, 13 Juli 2020

Syamsul Arifin, SKM. MKKK.

Postingan terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar