25 Agustus 2020

New-Normal Ditinjau dari Sudut Pandang Sistem Socio-Technical yang Kompleks: Menebarkan Optimisme Menggapai Kesuksesan

Heraclitus, filsuf Yunani kuno yang hidup 500 tahun sebelum masehi/Yesus, yang ajarannya mempengaruhi filsuf lainnya -Aristotle dan Plato-, pernah mengatakan “the only constant in life is change” (satu-satunya hal yang tidak pernah berubah di dunia ini adalah perubahan itu sendiri).

Covid-19 telah menjungkirbalikkan banyak hal, kesehatan, bisnis, ekonomi, tak terkecuali praktik beribadah dan tradisi budaya banyak negara -dimana kita tidak imun juga atas dampaknya.

Banyak hal yang tidak bisa kita kendalikan dalam hidup, apalagi dalam skala pandemi.

Kita perlu fokus pada hal-hal yang BISA kita kendalikan untuk menghindari kecemasan berlebihan.

Di antara beberapa hal yang bisa kita kendalikan adalah bagaimana kita akan menjalani praktik ibadah, bersekolah dan bekerja di rumah, menghabiskan waktu dengan produktif dalam isolasi di rumah, dan memulai perilaku new normal dalam berinteraksi sosial di masa kini.

Banyak hal yang berubah. Perilaku baru perlu dipelajari untuk kemudian diadaptasi.

Ketika pertama kali memakai masker ke luar rumah, mungkin kita akan merasa canggung. Mirip seperti ketika pertama kali memakai kaca mata –bagi yang memakai kaca mata minus/plus.

Ini wajar. Proses pembelajaran dan perubahan itu menimbulkan kondisi canggung -sementara. Jika nanti sudah terbiasa, akan tidak terasa aneh lagi, toh semua orang juga melakukan hal yang sama (pakai masker ketika di luar rumah).

Tidak bersalaman fisik dengan tetangga juga normal, justru perlu dikampanyekan di zaman now.

Persepsi dan perilaku individu dipengaruhi banyak hal: konteks kejadian, socio-technical system yang ada, konflik kepentingan (conflict of interest), keterbatasan (constrain), ketidakpastian (uncertainty), dan adaptasi

Sistem sosio-teknikal dalam manajemen risiko (risk management) mencakup beberapa tingkatan. Mulai dari legislator, manajer, perencana pekerjaan, hingga ke operator.

Di tingkat paling atas, masyarakat mengendalikan keselamatan kerja melalui sistem peraturan/undang-undang. Keselamatan kerja dipandang sebagai prioritas tertinggi, namun jumlah tenaga kerja produktif/tingkat pengangguran dan perekonomian juga masuk menjadi pertimbangan.

Selanjutnya di tingkat pembuat kebijakan (menteri), asosiasi industri, serikat pekerja, dan organisasi terkait. Di tingkat ini, perundangan diinterpretasikan dan diimplementasikan dalam bentuk peraturan untuk mengendalikan aktifitas pekerjaan, tempat kerja, dan bagi pekerja spesifik/tertentu. Peraturan disesuaikan dengan konteks perusahaan dengan mempertimbangkan proses kerja dan peralatan yang terlibat.

Di tingkat paling bawah, ada desain proses produksi, peralatan, pengembangan standard operating procedure untuk kondisi pekerjaan yang relevan.

Sistem ini ditekan oleh perkembangan teknologi yang pesat, peningkatan persaingan yang agresif dan kompetitif, perubahan regulasi/peraturan, dan tekanan sosial masyarakat.

Pendekatan tradisional dalam melakukan manajemen risiko dilakukan dengan memecah socio-technical system menjadi beberapa elemen dan mempelajarinya secara terpisah. Hal itu akan menghasilkan analisis yang aneh dan tidak akan sesuai dengan kenyataan.

Modelling risk management (pengelolaan risiko) harus dilakukan secara lintas disiplin ilmu, dengan pertimbangan bahwa pengelolaan risiko melibatkan semua tingkat hubungan sosial pada jenis bahaya tertentu.

Analisis perilaku yang berfokus pada urutan langkah pelaksanaan dengan penyimpangan/anomali (human error) harus diganti dengan model yang menunjukkan mekanisme pembentukan perilaku secara kesisteman dengan memperhatikan keterbatasan (constrain), batasan kinerja yang dapat diterima (boundaries of acceptable performance) dan kriteria subyektif sebagai panduan adaptasi terhadap perubahan.

Kembali ke perilaku terkait COVID-19. Ketika pandemi pertama kali muncul di Wuhan pada akhir Desember 2019. Penyakit Corona Virus Disease (COVID-19) oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) ditetapkan oleh WHO (World Health Organization) sebagai pandemi pada 11 Maret 2020.

Di level regulator, ada Keputusan Presiden No.12/2020 tentang penetapan bencana non-alam penyebaran Covid-19 sebagai bencana nasional; Peraturan Pemerintah No.21/2O2O tentang pembatasan sosial berskala besar dalam rangka percepatan penanganan COVID-19.

Didukung oleh turunan peraturan dari lintas kementerian seperti Kepmenkes No.104/2020 tentang penetapan infeksi Novel Coronavirus (infeksi 2019-nCov) sebagai penyakit yang dapat menimbulkan wabah dan upaya penanggulangannya, Permenhub No.25/2020 tentang pengendalian transportasi selama masa mudik Idul Fitri tahun 1441 hijriah dalam rangka pencegahan penyebaran COVID-19, SE Menaker No.7/2020 tentang rencana keberlangsungan usaha dalam menghadapi pandemi COVID-19 dan protokol pencegahan COVID-19 di perusahaan, SE Mendikbud 4/2020 pelaksanaan kebijakan pendidikan dalam masa darurat penyebaran Covid-19.

Juga lembaga independen semisal Fatwa MUI No.14/2020 tentang penyelenggaran ibadah dalam situasi terjadi wabah COVID-19 dan contoh regulator lokal seperti Pergub DKI Jakarta No.33/2020 tentang pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar dalam penanganan COVID-19 di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Di level di bawahnya, ada lembaga independen, asosiasi profesi-akademisi, komunitas, lembaga swadaya masyarakat, kantor berita yang memberikan edukasi-sosialisasi-kampanye, panduan bekerja selamat, mengorganisir webinar, media promosi, meningkatkan intensitas pemberitaan, dan menggalang donasi.

Di tingkat perusahaan, dibentuk satgas internal perusahaan, dikembangkan dan sosialisasi penegakan standard operating procedure, mengendalian administratif melalui pembagian jadwal kerja, Work from Home (WFH), pelaksanaan disinfektasi, dll.

Pada internal individu dan keluarga, ada akses terhadap informasi yang bisa berdampak positif (dan negatif), kondisi keterbatasan (constrain) yang melekat semisal job security, ketersediaan dana darurat, kebutuhan atau kelapangan hidup, tantangan physical distancing, dan penyediaan masker. Ada goal conflict antara aspek kesehatan dan ekonomi.

Hal itu semua juga berinteraksi dengan aspek infrastruktur dan prasarana yang tersedia semisal ketersediaan air bersih, wastafel, hand sanitizer, pembatas ruangan, papan peringatan, Alat Pelindung Diri (APD), dll.

Di dalam sistem sosio-teknikal juga ada dinamika konflik kepentingan, keterbatasan, dan ketidakpastian. Misalnya manusia tetap perlu makan, aktifitas perekonomian perlu bergulir, namun aspek kesehatan harus terus terjaga, sehingga ada adaptasi dan proses pembelajaran yang sangat intens saat ini.

Tapi kita harus yakin/percaya, kita mampu melewati masa sulit ini. Akan selalu ada harapan di tengah badai. Every cloud has a silver lining.

Jalan menuju kesuksesan di era new normal dimulai dengan menyadari sebuah paradoks bahwa secara bersamaan/simultan, manusia adalah sumber kesuksesan dan kegagalan disaat membuat, mengoperasikan, dan memodifikasi sistem yang kita buat sendiri.

Manusia, sebagai agen yang adaptif, agen pembelajar, agen kolaboratif, agen yang akuntable, dan agen kreatif masih bisa membuat kesuksesan/keberhasilan.

Di tengah keterbatasan sumber daya dan tekanan kepentingan dari berbagai tingkat sosio-teknikal, kita bisa melakukan pembelajaran dan adaptasi atas informasi yang tersedia untuk mencapai kesuksesan dalam berbagai tujuan hidup.

Insya Allah. Jika Allah berkehendak.

Semoga Allah memberikan kita semua kesehatan dan semangat untuk untuk selalu belajar, beradaptasi, berkarya, dan menggapai kesuksesan sembari mewujudkan keselamatan. Amin.



---000---

Depok, 15 Agustus 2020
Syamsul Arifin
Praktisi K3LH

#PertaminaEmployeeJournalism #PertaminaCovidRanger #BUMNUNTUK75TAHUN

Postingan terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar