Tampilkan postingan dengan label Epaper Energia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Epaper Energia. Tampilkan semua postingan

22 Mei 2020

Kenali dan Hindari Kesalahan Tim (Team Error)


Dua atau lebih pekerja yang melakukan 1 tugas kerja belum tentu akan menjadikan pekerjaan selesai dengan sukses. Dalam perspektif psikologi, kekurangan ini bisa muncul akibat interaksi sosial antara tim kerja.

Fenomena itu disebut kesalahan tim (team error), terjadi ketika satu atau lebih anggota tim kerja membiarkan anggota di dalam grup untuk berbuat error -bisa terjadi karena kesalahan persepsi atas kemampuan pekerja lain atau karena kurangnya akuntabilitas di dalam grup.

Bagan di bawah ini sebagai ilustrasi perhitungan matematisnya.

  
Jika ada pengawas (atau rekan kerja) yang diasumsikan melakukan pemeriksaan/pengawasan secara independen terhadap teknisi perbaikan, maka kemungkinan untuk terjadi error adalah 1 dalam sejuta kejadian (nilai task reliability sebesar 99,9999%).

Tapi, jika pengawas (atau rekan kerja) memiliki asumsi bahwa teknisi perbaikan yang melakukan pekerjaan sudah kompeten dan tidak melakukan pemeriksaan/pengawasan dengan detail, maka kemungkinan untuk terjadi error meningkat menjadi 1 dalam seribu kejadian, atau sama seperti ketika teknisi bekerja sendiri (nilai task reliability hanya 99,9%).

Team error dapat diakibatkan oleh beberapa kondisi sosial berikut:

Halo effect. Kepercayaan buta akan kompetensi seseorang dikarenakan pengalaman atau pendidikannya. Hal ini mengakibatkan antar anggota kelompok menurunkan kewaspadaannya terhadap kesalahan yang dapat diakibatkan oleh individu yang kompeten; tidak memeriksa tindakan seorang yang kompeten

Pilot-Co-pilot. Keengganan pekerja junior (co-pilot) untuk menentang pendapat, keputusan atau tindakan pekerja senior (pilot) karena posisinya di dalam struktur organisasi perusahaan. Bawahan menunjukkan sopan santun berlebihan ketika berinteraksi dengan manajer senior, tanpa sadar menerima perkataan bos tanpa berpikir kritis atau berbeda pendapat terhadap tindakan dan keputusannya.

Free riding (menumpang/mengikuti saja). Kecenderungan untuk “menumpang” (ikut-ikutan saja) tanpa secara aktif mengevaluasi maksud dan tindakan pekerja yang melakukan pekerjaan atau mengambil inisiatif. Orang lain yang mengambil inisiatif untuk melakukan pekerjaan, sementara si penumpang hanya mengambil peran pasif.

Group think (berpikir grup). Kepaduan, loyalitas, konsensus dan komitmen adalah hal yang baik jika ada di dalam kelompok kerja. Namun, terkadang, hal-hal tersebut bisa menurunkan kualitas keputusan tim. Contohnya, ada keenganan untuk berbagi informasi yang berbeda untuk menjaga keharmonisan tim. Kondisi itu bisa diperparah jika ada anggota grup yang dominan dan memberikan pengaruh yang kuat dalam pola pikir grup (pilot/co-pilot atau efek halo). Akibatnya, informasi yang penting bisa jadi tidak terbagi kepada anggota kelompok.

Diffusion of responsibility. Difusi tanggung jawab bisa jadi berisiko dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah kelompok. Jika dua atau lebih pekerja sepakat akan sesuatu yang dianggap cara yang terbaik dalam melakukan sesuatu, maka mereka akan lebih mudah mengambil resiko dan mengabaikan prosedur atau kebijakan yang ada. Fenomena ini bisa disebut mentalitas gembala (herd mentality).

Contoh-contoh kejadian dengan skenario di atas, dapat dengan mudah ditemukan pada kasus nyata di lapangan.

Kenali dan pahami tantangan atas fenomena-fenomena tersebut, dan lawanlah dengan beberapa teknik kerja tim yang baik agar melakukan beberapa guna mencapai tujuan kerja yang selamat –insya Allah akan dibahas kemudian.


---000---

Referensi:
Department of Energy. Human Performance Improvement Handbook - Volume 1: Concepts and Principles. June 2009. Washington, D.C, Amerika

Penyusun:
Syamsul Arifin
QHSSE Pertamina Hulu Indonesia


Artikel ini dimuat juga di epaper Energia Pertamina, edisi 18 Mei 2020, hal 15
https://epaper.pertamina.com/energia/18-mei-2020/flipbook/14/

Postingan terkait

02 April 2020

Aktualisasi Komitmen Keselamatan Kesehatan Kerja (K3) Pimpinan

Beragam Sistem Manajemen K3 (SMK3) menempatkan komitmen pimpinan (leadership commitment) sebagai bagian kritikal.

Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2012 (PP 50/2012) tentang Penerapan SMK3 menyebutkan bahwa setiap tingkat pimpinan dalam perusahaan harus menunjukkan komitmen terhadap K3. Bahkan elemen pertama SMK3 khusus bicara mengenai pembangunan dan pemeliharaan komitmen.

ISO 45001:2018 juga menaruh kepemimpinan di titik tengah siklus Plan-Do-Check-Act (PDCA) pada kerangka kerja standar SMK3. Disebutkan bahwa pimpinan tertinggi harus menunjukkan kepemimpinan dan komitmen terkait SMK3.


SUPREME (Sustainability Pertamina Expectations For HSSE Management Excellence) juga menjabarkan Kepemimpinan dalam proses bisnis dan ekspektasi pertama, dimana Organisasi harus memastikan bahwa Pemimpin di semua tingkatan harus menunjukkan kepemimpinan yang nyata, konsisten, kuat serta menjadi contoh dalam aspek HSSE.

Di tataran teknis lapangan, apa sih bentuk real/kongkrit komitmen K3 pimpinan itu? Dan apakah komitmen K3 itu terlihat oleh pekerja ketika pemimpin berkomunikasi sehari-hari?

Hampir semua orang sepakat bahwa komunikasi non verbal lebih dominan dari pada komunikasi verbal. Dr Albert Mehrabian bahkan membagi total peran komunikasi menjadi 7% pada isi perkataan, 38% nada suaranya, dan 55% bahasa tubuh.

Sehingga, para pemimpin tidak bisa dengan mudah hanya berkata “saya berkomitmen”, tapi gesturnya tidak mendukung. Diperlukan tambahan kecil gerakan atau aksi agar lebih terkesan meyakinkan.

Disamping beberapa persyaratan yang dapat dicuplik dari referensi semisal PP 50/2012, ISO 45001, ILO OSH Guide 2001, SUPREME, dan yang lainnya, ada beberapa hal kecil yang dapat dilakukan para pimpinan agar meyakinkan bawahan atau tim, mengenai komitmennya terhadap K3.

Pertama, mulai rapat resmi dengan pesan keselamatan. Apresiasi kinerja K3, harus disampaikan oleh pimpinan tertinggi. Hindari fokus pada kekurangan atau kecelakaan kerja, angkat usaha atau kerja keras sebagian besar pihak. Jangan terpaku pada porsi kecil kecelakaan, ada porsi besar kesuksesan keselamatan yang sehari-hari dilakukan pekerja operasional.

Jikapun harus memberitakan berita negatif (semisal kecelakaan), bungkus dalam bentuk komunikasi yang positif, semisalnya fokus pada empati terhadap orang yang terdampak, langkah-langkah yang akan diambil, dan banyaknya pelajaran yang bisa diraih dari kejadian tersebut yang dapat membuat organisasi lebih kuat.

Kedua, tinjaulah laporan keselamatan. Balaslah email laporan, minimal dengan ucapan terima kasih, dan bacalah secara teliti laporan tersebut sesekali waktu (jika tidak dapat setiap kali), kemudian berikanlah umpan balik yang konstruktif.

Ketiga, jika mengunjungi lapangan, perhatikan beberapa hal berikut:
  • Mintalah HSSE induction. Jangan menunggu apalagi sampai terlewatkan. Terkadang, masih ada rasa sungkan untuk memberikan HSSE induction kepada pimpinan tertinggi. Jangan ragu untuk meminta. Cari tahu operasi atau pekerjaan apa yang sedang berlangsung, apa bahaya yang bisa menyebabkan celaka, dan bagaimana tim kerja memitigasi risiko tersebut
  • Jadilah teladan. Tanyakan kewajiban apa yang berlaku di lokasi. Meskipun sebagai pimpinan VIP yang bisa jadi memiliki privilege untuk mem by-pass peraturan tertentu. Janganlah dilakukan. Lebih baik anda membatalkan kunjungan meskipun sudah di lokasi karena menghormati peraturan tersebut, ketimbang melanjutkan kunjungan manajemen dengan pesan bawah sadar yang kontraproduktif
  • Jangan bersikap sok tahu atau mengarahkan. Pekerja di lini ujung, telah melakukan pekerjaan tersebut lebih lama, mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan (cara yang paling efektif dan efisien dalam melakukan pekerjaannya), potensi celaka yang bisa terjadi, dan karena mereka juga tidak mau cedera, ada mitigasi yang mereka sudah lakukan. Tanyakan, diskusikan, bangun kesadaran K3 dengan menunjukkan bahwa anda peduli dan menghargai upaya-upaya yang telah mereka lakukan
  • Dukung dan jadilah barrier removal. Tanyakan kendala keselamatan jika ada, kemudian arahkan agar dapat diselesaikan.

Keempat, hadiri rapat keselamatan tepat waktu. Berikan fokus perhatian penuh, jangan disambi sembari bekerja dengan laptop atau membaca gawai pintar. Jangan hadir rapat kemudian pamit undur di tengah jalan atau keluar masuk ruangan tanpa terlibat diskusi. Tunjukkan komitmen anda dengan duduk penuh waktu, memberikan perhatian utuh, bukan hanya sekedarnya saja. Karena gestur ini terlihat dan memberikan kesan nyata.

Kelima, jangan takut untuk menghentikan produksi atau operation jika ada isu keselamatan yang belum dipahami atau diselesaikan. Misalnya, ketika ada insiden terjadi, stop seluruh operation lainnya untuk memastikan tim di lapangan lain tidak akan mengalami kejadian serupa. Minta mereka memeriksa ulang dan melaporkan kepada anda bahwa operasi mereka telah meyakinkan untuk dilanjutkan secara selamat.

Ingat, ada kutipan yang menyebutkan bahwa batas terendah yang anda (pimpinan) tunjukkan adalah batas tertinggi yang akan dicapai oleh bawahan anda.

Sehingga, pastikan anda memperhatikan detail kecil dan mempertimbangkan persepsi yang akan muncul dari tindakan anda sebagai pimpinan.



---000---


Penyusun:
Syamsul Arifin
HSSE Pertamina Hulu Indonesia

Bacaan lebih lanjut:
Arifin, Syamsul. Menjadi Organisasi Pembelajar: Belajar dari Kesuksesan Sehari-Hari. Pertamina Energia Weekly, 10 Dec 2018
Arifin, Syamsul. Kiat Mengoptimalkan Management Walkthrough. Pertamina Energia Weekly, 11 Feb 2019


Referensi:
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
International Organization for Standardization. BS ISO 45001:2018, Occupational health and safety management systems. 2018. UK
International Labour Organization. Guidelines on occupational safety and health management systems, ILO-OSH Guide. 2001. Swiss
Pertamina. 2018. SUPREME (Sustainability Pertamina Expectations For HSSE Management Excellence)
Occupational Safety and Health Administration. Recommended Practices for Safety and Health Programs. 2016.USA
The New York Times. The Definitive Book of Body Language. Diakses di https://www.nytimes.com/2006/09/24/books/chapters/0924-1st-peas.html pada 2 Agustus 2019.


Artikel ini tayang juga di epaper Energia Pertamina, edisi 28 Oktober 2019 (bagian 1) dan 4 November 2019 (bagian 2):
https://epaper.pertamina.com/energia/28-oktober-2019/flipbook/12/

https://epaper.pertamina.com/energia/4-november-2019/flipbook/12/

Postingan terkait

16 Desember 2019

Menjadi Organisasi dengan Kehandalan Tinggi

Kecelakaan kereta, pesawat terbang, dan kebakaran di kilang minyak memiliki penyebab fisik yang sangat berbeda. Tetapi, di tingkat organisasi dan budaya perusahaan, akar penyebab kecelakaan-kecelakaan itu -secara mengejutkan dan menyedihkan- sangatlah serupa.

Contoh kontributor utama kecelakaan tersebut misalnya pemotongan anggaran yang tidak dipikirkan dengan matang, paket bonus atau pemberian hadiah yang mengalihkan fokus perhatian dari keselamatan operasi (misalnya hanya berorientasi pada pencapaian produksi saja), atau tidak mempertimbangkan implikasi aspek keselamatan dari sebuah keputusan perubahan organisasi.

Karena hasil penyelidikan kecelakaan menunjukkan temuan yang konsisten dengan gambaran penyebab organisasi dan budaya seperti hal-hal tersebut di atas, maka manfaat pembelajaran hasil investigasi menjadi terasa semakin kecil saja.

Oleh karena itu, ada alternatif cara lain yang bisa kita harapkan dapat mencegah kecelakaan, yaitu dengan mempelajari organisasi atau perusahaan berisiko tinggi yang tidak mengalami kecelakaan –yang akan kita sebut sebagai organisasi dengan kehandalan tinggi/high reliability organisation.

Istilah organisasi dengan kehandalan tinggi/High Reliability Organisation (HRO) muncul tahun 1980an ketika sekelompok peneliti lintas keilmuan di Universitas California Berkeley mengamati bahwa sudah banyak penelitian terhadap organisasi yang mengalami bencana atau kecelakaan serius, tapi sangat minim ada penelitian yang mengkaji organisasi yang meskipun beroperasi dengan teknologi dan tingkat bahaya yang tinggi, namun tetap dapat beroperasi tanpa mengalami kegagalan.

Ketiga organisasi yang ketika itu diteliti peneliti Berkeley yaitu pengontrol lalu lintas udara/Air Traffic Controller (ATC) penerbangan sipil, pembangkit listrik tenaga nuklir, dan kapal induk bertenaga nuklir.

Organisasi dengan kehandalan tinggi yaitu organisasi yang jika terjadi kegagalan atau kecelakaan akan memiliki dampak yang luas dan konsekuensi bencana. Organisasi tersebut umumnya memiliki dua karakteristik utama.

Pertama, memiliki interaksi yang kompleks (interactive complexity), yaitu organisasi yang interaksi antar komponen sistemnya tidak dapat diprediksi dan/atau tidak terlihat. Kedua, memiliki keterikatan yang ketat (tight coupling), yaitu organisasi dengan tingkat ketergantungan yang tinggi antar komponen, termasuk di antarnya elemen orang, peralatan, dan prosedur.

Apa yang dapat kita pelajari dari organisasi HRO dalam usaha pencegahan kecelakaan mereka? Apa yang telah mereka lakukan sehingga dapat beroperasi secara selamat?

Weick dan Sutcliffe menjabarkan lima hal utama yang dapat kita tiru untuk dapat mereplikasi kesuksesan yang ada di organisasi HRO dalam menjalankan operasinya dengan selamat dan produktif.

Pertama, fokus pada kerentanan terhadap kegagalan dibandingkan kesuksesan. Organisasi HRO memahami bahwa kesuksesan jangka panjang akan melahirkan kelengahan (complacency) sehingga mereka waspada dalam mencapai keberhasilan atau kesuksesan operasi.

Sebagai konsekuensi memahami kerentanannya terhadap kegagalan, HRO akan terus mencari kesalahan aktif dan laten yang dapat berpotensi dapat menjadi penyebab kegagalan; membangun sistem pelaporan hampir celaka atau near-miss, memantau perubahan di luar rentang operasi normal (process upsets), kondisi tidak selamat, prosedur yang salah, dan berbagai macam kegagalan kecil dan terbatas lainnya yang dapat dijadikan signal peringatan untuk menuju kegagalan yang lebih besar.

Kedua, enggan untuk menyederhanakan interpretasi. Organisasi yang suka memotong anggaran akan menganggap pekerja yang berperan untuk mengeksplorasi kerumitan dan memeriksa ulang kompetensi atau kesuksesan sebagai pengulangan yang tidak perlu, padahal pengulangan (redudancy) merupakan hal vital agar dapat mengumpulkan dan melakukan interpretasi informasi yang relevan, serta memeriksa ulang keputusan-keputusan penting guna menghindari bencana.

Ketiga, sensitif atau peduli terhadap pekerjaannya. Para pekerja di lini lapangan bekerja keras untuk menjaga kewaspadaan situasi kerja (situational awareness) dan sensitif atau peduli terhadap pekerjaanya. Mereka berusaha memahami implikasi dari kondisi yang ada saat ini terhadap proses kerja di masa depan.

Hal itu membuat pekerja memahami gambaran besar operasi atau pekerjaan secara menyeluruh, mengetahui apa saja yang dapat membuat kegagalan operasi, dan mengerti cara atau strategi untuk memulihkan kondisi normal jika terjadi kondisi yang tidak diinginkan.

Keempat, komitmen terhadap ketangguhan (resilience). Kondisi kerja yang bebas kesalahan (error free) bukanlah ciri khas HRO. HRO meyakini bahwa kesalahan pasti akan terjadi, sehingga dibuatlah sistem cadangan yang dapat mengidentifikasi dan memperbaiki kesalahan jika muncul.

Komitmen terhadap ketangguhan hampir serupa dengan komitmen untuk belajar dari kesalahan -bukan menghindari kesalahan-, karena itu, menerapkan pembelajaran dari umpan balik negatif secara cepat akan mereduksi dampak kesalahan.

Kelima, menghargai para ahli. Ketika operasi pekerjaan berlangsung dengan tempo yang sangat cepat atau dalam kondisi darurat, keputusan akhir ketika ada situasi yang dipertanyakan haruslah berada di tangan para pekerja yang memiliki pengetahuan dan keahlian dalam bidang itu.

Para pekerja ahli tersebut bisa jadi hanya memiliki posisi yang rendah di dalam struktur organisasi, namun, para senior manajer harus mau dan legowo untuk mengandalkan rekomendasi keputusan yang diberikan pekerja-pekerja tersebut.

Peneliti memberikan contoh pola yang konsisten di kapal induk, dimana pelaut yang paling rendah posisinya sekalipun bisa membatalkan pendaratan pesawat jet tanpa melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan perwira yang memiliki kewenangan tinggi. Namun, ketika tempo kerja kembali normal, proses pengambilan keputusan kembali ke hirarki dengan kewenangan yang lebih tinggi.

Semoga dengan memahami dan menerapkan lima prinsip dasar bagaimana organisasi dengan kehandalan tinggi berfungsi, kita mampu juga beroperasi dengan lebih produktif dan terhindari dari bencana kegagalan.



---000---

Referensi:
  • Hopkins, Andrew. Learning from High Reliability Organisations. 2013. Australia
  • Health and Safety Executive. High reliability organisations, a review of the literature. 2011. Inggris.

Penyusun:
Syamsul Arifin
HSSE Pertamina Hulu Indonesia


Artikel ini tayang juga di epaper Energia Pertamina, edisi 20 Mei 2019 (bagian 1) dan 10 Juni 2019 (bagian 2):

https://epaper.pertamina.com/energia/20-mei-2019/flipbook/12/

https://epaper.pertamina.com/energia/10-juni-2019/flipbook/12/

Postingan terkait

Just culture

Di acara Ngopi bareng Komet, Dharmawan H. Samsu menyebutkan tentang Just Culture. Apa dan bagaimana Just Culture itu, mari kita ulas bersama.

Just culture (budaya yang adil) adalah budaya yang memberikan batasan jelas antara kinerja yang dapat diterima (acceptable) dengan kinerja yang tidak dapat diterima (unacceptable). Atau bisa disebut juga budaya saling percaya, belajar, dan akuntabilitas.

Sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu memahami terlebih dahulu bahwa kegagalan (dan juga kesuksesan) merupakan kombinasi hasil dari beberapa faktor yang saling terkait –yang kesemuanya harus ada secara memadai.

Dengan tantangan VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity dan Ambiguity) yang dihadapi fungsi operasional sehari-hari, beberapa orang dengan mudah menyalahkan pekerja atau manusia ketika mengalami kegagalan, sedang beberapa orang lainnya menyalahkan sistem kerja atau organisasi.

Just culture hadir untuk memberikan keseimbangan dari kedua hal tersebut.

Euro Control, memberikan tambahan penjelasan mengenai just culture, yaitu ketika seorang tidak dihukum karena aksi, ketiadaan aksi (omission) atau keputusan yang mereka ambil, yang telah sesuai dengan tingkat pengalaman dan pelatihan mereka, namun hal itu tidak menoleransi kelalaian, pelanggaran yang disengaja, dan tindakan perusakan.

Harapannya, dengan adanya just culture, pekerja akan semakin banyak melaporkan kejadian, baik berupa kecelakaan, near miss, kondisi berisiko, ataupun hal lain yang bisa mengakibatkan gangguan operasi.

Namun, untuk dapat meningkatkan pelaporan, perlu lebih dahulu ditingkatkan kemudahan mengakses pelaporan dan mengurangi kecemasan terkait pelaporan.

Cara mengurangi kecemasan pelaporan adalah dengan memberikan kepastian kepada pekerja bahwa laporan mereka ditindaklanjuti, terjamin kerahasiaannya, tidak membahayakan karir mereka sendiri ataupun rekan kerja lainnya.

Dan untuk membuat pelaporan terus berlanjut, perlu ada umpan balik, pelibatan pelapor, dan bukti adanya perubahan.

3 kriteria untuk membuat pelaporan sukses adalah voluntary (suka rela), karena para pekerja adalah personil ahli di bidangnya, mereka mengetahui apa yang perlu atau tidak perlu dilaporkan; non-punitive (tidak menghukum), kita belajar lebih banyak dari kesalahan, dengan memberikan hukuman atau sanksi (memecat pekerja, contohnya) hanya akan menghilangkan pelajaran tersebut; protected (dilindungi), terjamin merahasiaannya dan tidak anonim untuk memudahkan klasifikasi pelaporan dan tindak lanjut.

Menurut Sidney Dekker, ada 2 pendekatan just culture: retributive dan restorative.

Retributive just culture menekankan pemberian sanksi secara proporsional jika ada kinerja yang tidak dapat diterima.

3 pertanyaan yang biasa muncul dengan pendekatan ini adalah: peraturan apa yang dilanggar, seberapa berat pelanggarannya, dan bagaimana konsekuensi bagi si pelanggar.

Untuk membantu pendekatan ini, secara umum ada 3 klasifikasi pengelompokan (shade of retribution) atas tindakan yang tidak dapat diterima (unacceptable performance): negligence (kelalaian), at-risk behavior (perilaku berisiko), dan honest mistake (kesalahan tidak disengaja).

Ringan beratnya konsekuensi bagi si pelanggar akan berbeda, tergantung tingkat pelanggarannya. Semakin ke ujung kiri, semakin berat sanksinya.



Namun, pendekatan ini tidak mudah dan memiliki banyak tantangan, karena ada banyak sekali hal subyektif yang dapat diperdebatkan. Misalnya, negligence bukanlah istilah yang dipergunakan dalam ilmu human performance tapi dipergunakan di ranah hukum/legal, batasan standar normal, kesamaan definisi arti di bawah kinerja, perilaku yang masuk akal, memadai, dst.

Untuk memudahkan aplikasinya, beberapa organisasi mempergunakan decision tree atau flow chart untuk menentukan jenis dan besar atau kecilnya sanksi, yang merupakan pengembangan culpability decision tree dari James Reason, 1997.



Yang menarik dari grafik tersebut adalah dimulai dengan ‘anda bersalah’ sampai tidak terbukti bahwa tindakan yang ada merupakan kesalahan sistem, dengan mengklarifikasi pertanyaan-pertanyaan yang tersedia.

Apakah hal tersebut akan memicu pelaporan yang baik? Sepertinya tidak.
Apakah hal tersebut akan memberikan keadilan yang diharapkan atau pembelajaran setelah kejadian? Sepertinya sulit.

Dalam praktiknya, pendekatan ini mudah menyalahkan pekerja, tidak memberikan pelajaran berarti; hanya mengeluarkan pelaku yang berada di ‘permukaan’ atau sebagai gejala/symptom saja; dan tidak menunjukkan pemahaman mendalam akan kondisi sistemik penyebab kejadian.

Sebuah survei yang dilakukan pada 2006 dengan 1984 koresponden di Rumah Sakit menunjukkan kesimpulan bahwa dengan pendekatan retributive just culture, orang yang memiliki kekuasaan yang besar, akan melihat hal itu sudah adil “just culture”, tetapi orang yang memiliki kekuasaan lebih kecil, hanya melihat itu sebagai alat untuk menghukum.

Akibatnya, just culture yang digadang-gadang sebagai program perbaikan berkelanjutan, hanya jadi program untuk menyalahkan pekerja, sehingga akhirnya akan menurunkan tingkat pelaporan.

Jika ingin membuat budaya pembelajaran dan adil, retributive just culture mungkin sebaiknya tidak dipergunakan. Namun, jika tetap memaksa mempergunakan pendekatan ini, dibutuhkan 3 syarat: wasit yang independen (independent judge) yang tidak memiliki konflik kepentingan ketika mempergunakan decision tree tersebut; pengetahuan detail yang luas (knowledge of messy details); dan peluang untuk banding atau pembelaan bagi pekerja yang mendapat hukuman (opportunity for appeal).

Selain pendekatan di atas, ada restorative just culture, yaitu ketika semua pihak yang terlibat memiliki kesempatan untuk mendiskusikan bagaimana mereka telah dipengaruhi oleh ketidakadilan dan memutuskan apa yang harus mereka lakukan untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi.

3 pertanyaan yang biasanya dipergunakan restorative just culture adalah: siapa yang telah cedera, apa yang mereka butuhkan, kewajiban siapa yang akan memenuhi kebutuhan tersebut.

Kita buat contoh perbandingan. Seorang pekerja menyatakan bahwa ia membuat error ketika melakukan pekerjaan sehingga mengakibatkan kerugian dan membuat risiko keselamatan. Jika mempergunakan retributive just culture, perilaku penyebab kejadian tersebut akan dimasukkan ke decision tree flow chart dan 3 pertanyaan untuknya yaitu: apa yang dilanggar, seberapa berat pelanggarannya, konsekuensi apa yang akan ia dapatkan –dengan kemungkinan akan dipecat.

Tapi, jika mempergunakan restorative just culture, dengan dirinya suka rela mau maju membicarakan kesalahannya dan direkam dalam video, menjelaskan situasi yang mengarahkan dia ke dalam jebakan error, menjelaskan akibat tindakan yang ia lakukan, menunjukkan perasaan tanggung jawab, penyesalan, dan memberikan pembelajaran pada rekan kerja.

Bagi pekerja, hal ini memberitahu akuntabilitasnya (honest disclosure, giving of an account); membayar hutangnya pada perusahaan dan rekan kerja, dengan berbagi pelajaran; menunjukkan penyesalan dan tanggung jawab; akuntabilitas yang menatap masa depan (forward-looking accountability); dan menjelaskan hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terulangnya kejadian serupa.

Bagi perusahaan, hal itu tidak melepas pekerja dari tanggung jawab. Pekerja akan belajar dari hal tersebut. Terbangun kepercayaan berdasarkan kejujuran satu sama lain; teridentifikasi kondisi sistemik yang membuat jebakan error bagi dirinya dan potensi menjebak juga bagi orang lain. Sedang, jika dihukum atau dipecat, maka pelajaran akan hilang, dan menurunkan motivasi pekerja lainnya;

Dengan demikian, retributive just culture berbeda dengan restorative just culture. Retributive just culture melihat akuntabilitas ke belakang atau masa lalu (backward-looking accountability), mencari tahu siapa yang bertanggungjawab, dan apa konsekuensi yang akan diberikan kepada pekerja yang berbuat error. Sedang restorative just culture melihat akuntabilitas ke masa depan (forward-looking accountability), mencari tahu apa yang bertanggungjawab, dan apa yang harus dilakukan sekarang untuk memperbaiki kesalahan yang sudah terjadi.

Apa yang bertanggungjawab pada restorative just culture bisa berupa batasan-batasan operasional yang ada, konflik tujuan (goal conflict), kesalahan desain, atau isu pada organisasi.

Retributive just culture mempertemukan kegagalan atau luka (dampak kecelakaan) dengan luka baru (pemecatan, sakit hati), sedangkan restorative just culture mempertemukan luka dengan obat/penyembuhan.



---000---

Referensi:
  • Dekker, Sidney. Just Culture, Balancing Safety and Accountability. 2007. Inggris
  • Dekker, Sidney. Just Culture, Restoring Trust and Accountability in Your Organization. 2016. Inggris
  • Dekker, Sidney. “Just Culture short course 1 - 4”, Youtube. 1 Des 2015. Web
  • Dekker, Sidney. “Book Briefing - Just Culture (3rd Edition)”, Youtube. 28 Nov 2018. Web

Penyusun: 
Syamsul Arifin
HES Engineer
Pertamina Hulu Kalimantan Timur


Artikel ini tayang juga di epaper Energia Pertamina, edisi 11 Maret 2019 (bagian 1) dan 18 Maret 2019 (bagian 2):

https://epaper.pertamina.com/energia/11-maret-2019/flipbook/12/

https://epaper.pertamina.com/energia/18-maret-2019/flipbook/14/

Postingan terkait

Kiat Mengoptimalkan Management Walkthrough

Kunjungan lapangan para pimpinan perusahaan adalah salah satu program yang bisa memperkuat budaya keselamatan di lokasi kerja –tempat utama penerapan Sistem Manajemen K3 (Keselamatan Kesehatan Kerja) perusahaan. Jika dijalankan dengan benar, aktifitas kunjungan lapangan tersebut bisa berbuah produktif.

Program K3 semisal itu bisa kita temukan melalui aktifitas Management Walk Through (MWT) di berbagai lapangan Pertamina. Salah satu contohnya adalah kunjungan Direktur Pertamina Hulu Kalimantan Timur (PHKT), Feri Sri Wibowo, ke seluruh lapangan PHKT di lepas pantai/offshore dan darat/onshore beberapa waktu lalu.

Dilihat dari aspek K3, ada beberapa poin yang harus diperhatikan para pimpinan yang menginginkan kunjungan lapangannya memberikan hasil yang optimal. Diantaranya yaitu:

Jadilah teladan

Para pekerja mempercayai apa yang mereka lihat, bukan apa yang mereka dengar, karena itu, lakukan apa yang anda ucapkan ketika berbicara tentang keselamatan.

Selama kunjungan, patuhi SEMUA peraturan keselamatan yang ada. Setibanya di lokasi, ikuti safety induction, jika tidak ada safety induction mungkin karena merasa sungkan, mintalah. Safety induction sangat bermanfaat untuk memberikan gambaran besar mengenai pekerjaan yang berlangsung, bahaya-bahaya yang mungkin ada, dan beberapa peraturan keselamatan umum serta hal-hal yang harus dilakukan jika terjadi kondisi darurat.

Pastikan anda memakai seluruh Alat Pelindung Diri (APD) yang dipersyaratkan semisal helm, kaca mata dan sepatu keselamatan. Selain untuk melindungi diri anda, hal itu menunjukkan bahwa ketika berbicara tentang wajibnya memakai APD -peraturan keselamatan-, maka kewajiban itu mencakup seluruh pekerja, termasuk para pimpinan –peraturan keselamatan berlaku bukan hanya bagi bawahan. Jika tidak tersedia APD yang dipersyaratkan atau anda tidak bisa memenuhi persyaratan keselamatan lainnya, lebih baik tunda kunjungan anda,meskin anda sudah berada di lokasi.

Libatkan pekerja, tanyai mereka

Salah satu pendekatan yang bisa dilakukan untuk melibatkan diri dengan pekerja adalah dengan: bertanya.

Tanyakan apa yang sedang mereka kerjakan, apa saja bahaya yang terlibat pada pekerjaan mereka, apa saja mitigasi yang telah mereka lakukan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan aman.

Dengan bertanya, pekerja dipaksa memikirkan ulang langkah kerja yang aman, potensi bahaya yang terlibat dan pencegahan yang telah mereka lakukan. Dorong lebih jauh, tanyakan apakah yang mereka lakukan sudah memadai atau belum.

Binalah komunikasi yang terbuka, posisikan diri secara egaliter agar terbangun komunikasi dua arah yang jujur apa adanya.

Beri solusi

Dengan melakukan kunjungan lapangan, pimpinan perusahaan bisa melihat secara langsung kesulitan ataupun hambatan yang dialami pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya secara efisien dan aman. Tangkap kesulitan-kesulitan tersebut, dan jadilah bagian pemberi solusi, bukan pemberi masalah.

Apakah ada isu kelangkaan APD, kesulitan penyediaan alat kerja yang memadai, tidak adanya pelatihan, dst.

Beri apresiasi

Jika kunjungan lapangan dilakukan hanya ketika terjadi kecelakaan, maka pimpinan tersebut akan diasosiasikan oleh para pekerja sebagai pembawa berita buruk. Maka dari itu, alangkah baiknya jika para pimpinan perusahaan datang ke lapangan membawa berita baik, bisa berupa bonus keselamatan atau mungkin barang-barang merchandise perusahaan untuk dibagikan ketika bertanya di sesi rapat keselamatan, tool box meeting atau diberikan ke safety officer lapangan untuk menyemarakkan pelatihan onsite yang dia lakukan.

Hentikan pekerjaan yang tidak aman

Jika melihat pekerjaan yang tidak aman, tugas setiap orang yang mengetahuinya untuk menghentikan pekerjaan tersebut sebelum terjadi korban karena kecelakaan.

Dorong para pekerja untuk melakukan penghentian pekerjaan yang tidak layak, dan hormati pekerja yang menghentikan anda, pimpinan perusahaan. Aktifitas penghentian pekerjaan yang tidak aman merupakan salah satu indikasi matangnya budaya keselamatan di sebuah organisasi.

Dorong pelaporan

Ketika melihat hal-hal yang tidak baik, mintalah pengawas lapangan untuk melaporkannya. Doronglah pelaporan segala bentuk kecelakaan, baik kecelakaan ringan, nearmiss, ataupun pelaporan kondisi tidak aman dan perilaku berisiko yang diamati/di observasi.

Semakin banyak pelaporan, data potensi kecelakaan akan semakin baik, memungkinkan tim yang di kantor mengamati kecenderungan/tren yang terjadi guna pencegahan lebih awal.

Libatkan pimpinan lain

Jika memungkinkan, ajaklah serta pimpinan dari tim lain. Sepasang mata yang berbeda bisa memberikan sudut pandang baru yang mungkin selama ini tidak terlihat oleh pekerja yang terbiasa dengan area kerja.

Jika area kerja juga melibatkan tim kerja dari perusahaan lain, kunjungan lapangan pimpinan lintas departemen atau bahkan lintas perusahaan, bisa memberikan masukan yang berharga, selama tim kunjungan mempunyai tujuan yang sama, saling membina budaya keselamatan secara konstruktif.

Jangan lupakan tindak lanjut

Temuan-temuan dilapangan perlu ditindak lanjuti. Jangan sampai hanya dianggap sebagai janji-janji palsu. Jika tindak lanjut dilakukan, hal itu akan semakin meningkatkan kepercayaan pekerja terhadap komitmen para pimpinannya.

Rutin

Jadwalkan kunjungan lapangan secara rutin. Bisa sebulan sekali atau mungkin setahun dua kali. Hal baik yang dilakukan secara berkala bisa membuat kontribusi yang berarti, apalagi jika dilakukan oleh posisi tertinggi perusahaan yang bisa mengambil keputusan.

Dengan berada di lapangan, seorang pemimpin telah menunjukkan bentuk komitmennya terhadap keselamatan kerja. Inilah yang pekerja lapangan ingin lihat dan harapkan.



---000---

Penyusun: 
Syamsul Arifin
HES Engineer, Pertamina Hulu Kalimantan Timur.


Artikel ini tayang juga di epaper Energia Pertamina, edisi 11 Februari 2019, hal 13
https://epaper.pertamina.com/energia/11-februari-2019/flipbook/12/

Postingan terkait

Menjadi Organisasi Pembelajar: Belajar dari Kesuksesan Sehari-Hari

Kita perlu jujur mengakui, bahwa meskipun beberapa kecelakaan kerja itu mengerikan, kejadian atau frekuensi terjadinya kecelakaan tidaklah sebanyak kejadian atau frekuensi kesuksesan atau berhasilnya kita dalam mencapai tujuan-tujuan pekerjaan kita sehari-hari.

Dengan demikian, fokus keselamatan kerja kita sepatutnya berpindah, dari terlalu mendetail atau fokus dalam menganalisa kecelakaan kerja, menjadi lebih fokus untuk menginvestigasi pekerjaan-pekerjaan yang telah dilakukan dengan sukses (selamat atau tanpa celaka), agar dapat direplikasi atau diulang kesuksesan tersebut di tempat lain atau di kemudian hari.

Sebagai ilustrasi, jika ada 1 kecelakaan dari 10,000 pekerjaan (atau ada 9,999 keberhasilan), maka terlalu berfokus pada 10-4 porsi bagian, akan membuat kita melupakan potongan bagian besar yang seharusnya lebih nampak. Hal ini bisa dilihat pada grafik lingkaran di samping.

Ilustrasi lain untuk memperkuat pemahaman baru ini dapat dijelaskan dengan mempergunakan kurva normal gaussian. Di sisi ujung kiri kurva, ada bagian kecil yang menunjukkan kecelakaan; sedang di sisi ujung kanan kurva, ada kesuksesan meskipun kondisi buruk (suatu kondisi yang jarang sekali, misalnya pesawat Garuda Indonesia GA 421 yang sukses mendarat darurat di Sungai Bengawan Solo, Januari 2002).

Bagian besar di tengah, ada porsi besar kesuksesan sehari-hari yang dialami pekerja. Sesuai dengan target yang telah diharapkan. Tepat waktu, sesuai anggaran, dan dilaksanakan dengan selamat (on time, on budget, and safely executed).


Pelajarilah apa-apa saja yang telah membuat kita berhasil atau sukses (mencapai tujuan pekerjaan dengan selamat). Jangan menganggap hal itu sebagai sebuah hal yang wajar dan normal, tanpa benar-benar memahami sebab-sebabnya.

Apakah karena kita telah cukup baik dalam melakukan perencanaan kegiatan, mendata peralatan dan kompetensi pekerja yang dibutuhkan, berkomunikasi, bekerja sama antar tim yang berbeda di lapangan, mengikuti manual atau mengikuti dengan baik prosedur yang dipersyaratkan manufaktur, mengurangi gangguan (distraction) agar dapat fokus pada pekerjaan, atau yang lainnya?

Bisa juga kemampuan beradaptasi yang baik dengan kondisi lapangan. Mengidentifikasi bahaya baru yang sebelumnya tidak teridentifikasi, menyesuaikan antara prosedur tertulis dengan kondisi lapangan, memprioritaskan pekerjaan dan mengatur alokasi sumber daya di lapangan, memonitor dengan detail aktifitas pekerjaan kritis, merespon dengan baik kondisi abnormal, dan hal-hal yang semisalnya.

Apapun itu, hal-hal tersebut telah terbukti menghadirkan keselamatan dalam proses mencapai tujuan kerja (sukses).

Menariknya, ISRS (International Sustainability Rating System) edisi 8 juga menyebutkan perihal belajar dari keberhasilan/sukses di sub-proses 13.2.

Semua hal itu menunjukkan bahwa tinjauan ulang atas kesuksesan bekerja selamat itu penting dilakukan. Bahkan -menurut saya- jauh lebih penting dari pada tinjauan ulang kecelakaan kerja, karena kecelakaan kerja sangat jarang dan tidak umum (spesifik atau terikat dengan kondisi-kondisi tertentu), sedang kesuksesan (selamat dalam bekerja) itu sangatlah umum dan sangat banyak sekali terjadi.

Saatnya kita mulai menghargai suksesnya bekerja selamat tim kerja. Mari kita mengevaluasi, apakah kita telah mengambil pelajaran dari kesuksesan bekerja selamat yang telah dilakukan sehari-hari, dan mampu untuk mengulang lagi, hari ini, esok hari?


---000---

Referensi:
  • Hollnagel, Erik. Safety-I and Safety-II. The Past and Future of Safety Management. 2014. UK
  • Dekker, Sidney. Why Do Things Go Right? 2018. Di akses di: http://www.safetydifferently.com/ why-do-things-go-right/

Penyusun: 
Syamsul Arifin, SKM. MKKK.
HES Engineer - Safety & Health Auditor
OE-HES Department
Pertamina Hulu Kalimantan Timur


Artikel ini tayang juga di epaper Energia Pertamina, edisi 10 Desember 2018, hal 13
https://epaper.pertamina.com/energia/10-desember-2018/flipbook/12/

Postingan terkait