15 Desember 2020

Takut Mengakui Kita (Bisa) Salah


"People are fallible, and even the best people make mistakes" (Dept Energi Amerika).

Kita mesti mafhum, kalau semua manusia bisa berbuat salah. Front line worker (pekerja lapangan) sampai top level management diisi oleh manusia biasa, tidak ada yang setengah dewa (-pinjam judul lagunya Iwan Fals), karena itu, sangat normal atau wajar kalau mereka berbuat error.

Error banyak terjadi dalam kehidupan (dan pekerjaan) kita, dengan sebagian besar darinya tidak memiliki konsekuensi yang berarti.

Lantas mengapa kita seakan memaksakan diri menolak fakta, bahwa beberapa orang tidak boleh menghasilkan error ketika bekerja?

Mungkin salah satu jawabannya adalah kurangnya kita memahami diri kita sendiri, sebagai manusia.

Manusia dengan segala kelebihannya, memiliki juga keterbatasaan. Keterbatasan fisik (misalnya mengangkat manual beban berat tertentu), keterbatasan kognitif (mengingat, berpikir, pengambilan keputusan), atau emosional (bosan, jenuh, stres).

Kali ini saya akan coba membahas beberapa bias terkait pengambilan keputusan. 

Thaler menyebutkan 3 hal diantara yaitu anchoring, availability, dan framing.

Anchoring (pen-jangkar-an) terjadi ketika kita memutuskan berdasarkan suatu hal (jangkar) yang sudah kita kenali, bisa berupa pengalaman atau informasi yang pertama kali muncul.

Misalnya ketika berbelanja, harga awal (anchor/jangkar) yang ditampilkan menjadi referensi perbandingan harga dan disesuaikan dari situ. 

Trik itu dipergunakan para marketing untuk menampilkan harga awal yang lebih tinggi dari harga sebetulnya, karena penurunan harga dari referensi awal (jangkar) akan dianggap sebagai hal yang menguntungkan.

Selanjutnya yaitu availability (ketersediaan informasi). Semakin sering kita menerima informasi tertentu, akan dianggap menjadi semakin serius atau besar kemungkinan kejadiannya.

Bias ini dipengaruh secara signifikan oleh pemberitaan/media sosial. Apalagi dengan adanya algoritma kecerdasan buatan di dalam apps medsos yang akan semakin sering memunculkan topik/subyek berita/informasi yang kita like, share, atau search. 

Sedang framing sesuai namanya adalah bagaimana sebuah informasi disajikan/dikemas (dibingkai/di-frame). 

Penyajian dengan kalimat positif atau negatif, misalnya menentukan bagaimana kita akan mengambil keputusan.

Contohnya, jika ditulis "90% orang yang dioperasi akan sembuh/berhasil", maka sebagian besar orang akan menyetujui tindakan medis operasi. 

Tapi jika ditulis "10% orang yang dioperasi tidak sembuh/gagal", meskipun fakta yang tersirat sama (ada 90% orang yang dioperasi sembuh dan 10% orang tidak sembuh), orang cenderung akan menghindar jika disodorkan 'bingkai' informasi yang kedua.

Dari sini, kita belajar bahwa manusia itu tidak sepenuhnya rasional atau logis. Ada bias atau kesalahan yang bisa terjadi dalam proses pengambilan keputusan. 

Ada banyak lagi bias lainnya. Mari kenali agar tidak terperosok di dalamnya. 


---000---


Kutai Kartanegara, 21 November 2020

Syamsul Arifin, SKM. MKKK. Grad IOSH.


Referensi: Richard H. Thaler & Cass R. Sunstein. 2008. Nudge: Memperbaiki Keputusan tentang Kesehatan, Kekayaan, dan Kebahagiaan. Jakarta.

Postingan terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar