06 Januari 2021

Perdebatan mengenai Budaya K3

Diskusi mengenai budaya K3 telah berjalan selama lebih dari 30 tahunan. Secara umum, jika berbicara mengenai budaya K3, kita bisa membaginya menjadi 2 tahapan diskusi/aplikasi/penelitian. 

Tahap 1: akhir 1980an s/d pertengahan 2000an. 

Tahap 2: pertengahan 2000an s/d saat ini.

Di tahap 1, tulisan akademis mengenai budaya K3 dimulai dari Turner dan Pidgeon yang mengomentari kejadian Chernobyl. Di akhir 1990an dan awal 2000an, banyak peneliti memperkaya literatur ilmiah mengenai Budaya K3, diantaranya Cox dan Flin; Pidgeon; Reason; Hale; Guldenmund; Glendon dan Stanton.

Pandangan mengenai budaya K3 terbagi antara pandangan fungsionalis dan interpretif. Bagi yang mengambil perspektif fungsionalis, mereka mendorong agar manajemen perusahaan membentuk dan mengendalikan budaya K3 yang ada di organisasi/perusahaan, sedang interpretatif lebih netral karena menganggap budaya K3 sebagai bentukan dari sistem sosial organisasi/social construct.

Di tahap 2, pandangan yang lebih beragam hadir dalam menilai konsep budaya K3. Ada yang menolak, bersikap netral (menganggapnya sebagai obyek/studi terpisah yang layak diteliti), open minded (terbuka, menerima aspek praktis dengan syarat tertentu), dan yang mempromosikan tahapan kedewasaan/maturity budaya K3.

Yang menolak konsep budaya K3 misalnya adalah sosiologis Andrew Hopkins dengan 7 alasannya, termasuk juga Silbey yang mengkritisi budaya K3 karena tidak mengindahkan beberapa hal.

Peneliti lain semisal Guldenmund menerima ide budaya K3 dengan netral, mencoba mengkonsepnya dari sudut yang berbeda tanpa memihak perspektif fungsionalis maupun interpretatif. Penelitian lain yang mengambil langkah sama misalnya Edwards dan Henriqson.

Pandangan ketiga, yang bersikap terbuka menganggap bahwa budaya K3 merupakan aspek penting dalam K3, namun tetap perlu diteliti lebih lanjut menggunakan pendekatan ilmu sosial. Peneliti yang memegang pendapat ini telah bergeser dari memahami budaya K3 secara sederhana dengan menghubungkan sisi antropho-sosiologis. Peneliti Antonsen mengambil pendapat ini, karena ia menemukan hasil budaya K3 yang sudah bagus, tapi hal itu tidak berhasil memprediksi kejadian nearmiss bencana di offshore platform beberapa bulan setelah hasil survei budaya K3-nya.

Pandangan terakhir, didorong oleh industri yang mencoba mengembangkan tools, program, dan model untuk mengimplementasikan budaya K3. Disokong oleh praktisi dan/atau peneliti semisal Hudson, Filho dan Waterson yang mengembangkan maturity framing Westrum, serta Fleming. Dengan adanya visualisasi konsep yang ditawarkan, pandangan ini cocok dengan praktik klasikal auditing K3.

Sebagai penutup, sebagai praktisi, selain memahami satu versi konsep budaya K3, mengenal juga ada pandangan yang berbeda membuat wawasan kita jadi semakin luas, membuat kita berpikir dan kritis, tidak hanya taklid/mengikuti secara membabi buta pada konsep/ide tertentu tanpa mengetahui justifikasi ilmiah yang melatarbelakanginya.

Perkembangan sistem kerja berisiko tinggi membutuhkan keanekaragaman masukan, dan itu harus dipandang sebagai satu hal yang bagus, toh semuanya mengharapkan hasil yang sama-sama mulia, tempat kerja yang lebih selamat, bagi semua.


---000---


Jakarta, 5 Januari 2021

Syamsul Arifin, SKM. MKKK. Grad IOSH.


Referensi: Jean Christophe Le Coze. 2019. How safety culture can make us think. Jurnal Safety Science.

Postingan terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar