03 September 2021

Empat Persepsi terhadap Program Kerja K3 (Safety Work)

Aktifitas, kegiatan, program kerja Keselamatan Kesehatan Kerja (K3), atau safety work semisal toolbox meeting, safety moment, Job Safety Analystis (JSA), risk assessment, investigasi, inspeksi, audit, dll dilakukan dengan niat untuk menjaga agar pekerja dan pekerjaan dilakukan dengan selamat.

Praktik-praktik keselamatan kerja pada dasarnya adalah fenomena sosial yang kompleks, karena hal-hal tersebut dilakukan untuk memenuhi fungsi instrumental (pencapaian tujuan atau goals) dan fungsi ekspresi (mengungkap sikap atau emosi).

Kedua tujuan di atas bisa juga disebut dengan istilah ‘assurance’ dan ‘ensurance’, atau ‘menjadi selamat (being safe)’ dan ‘merasa selamat (feeling safe)’. 

Seperti perkataan Prof Erik Hollnagel, "the efforts to prevent future accidents actually serve a dual purpose - to be safe and to feel safe. But sometimes the latter stands in the way of the former”.

Jurnal yang menarik dari Andrew Rae dan David Provan dari Griffith University menyebutkan bahwa meskipun aktifitas safety work terbukti dapat mencegah kecelakaan, namun saat ini ada isu bahwa safety work, program kerja, departemen, atau peraturan K3 menjadi semakin berkembang atau bertambah terus menerus sehingga dapat menimbulkan problem tersendiri.

Menurut mereka, safety work tidaklah sama dengan safety of work (pekerjaan yang selamat) atau operational safety.

Safety Work (Aktifitas atau Program Kerja K3)

Sebagai awalan, untuk dapat memahami perbedaan antara keduanya, kita lihat dulu empat pembagian persepsi dalam memandang safety work, aktifitas, atau program K3. Keempat sudut pandang tersebut memaknai safety work sebagai social safety, demonstrated safety, administrative safety, dan physical safety.

Social safety dilakukan untuk mengkonfirmasi bahwa keselamatan itu dihargai atau bernilai tinggi di dalam organisasi; demonstrated safety untuk membuktikan keselamatan pada pemangku kepentingan eksternal; administrative safety dengan menetapkan dan mempersyaratakan kepatuhan terhadap peraturan/prosedur, dan physical safety yang mengubah lingkungan kerja agar selamat.

Kategorisasi tersebut dilakukan dengan mengembangkan teori organisasi institutional work dari Cloutier yang mencoba menjelaskan bagaimana dan mengapa aktitifas K3 dilakukan.

Contoh bentuk social safety misalnya safety sharing berupa safety moment atau yang dilakukan sebelum memulai rapat dengan menjelaskan atau berbagai pengalaman, cerita, atau informasi singkat terkait keselamatan. 

Social safety yang mengkonfirmasi nilai perusahaan juga bisa diejawantahkan dalam bentuk slogan atau jargon semisal “Safety first”, “Zero harm”, “Safety is our number one priority”, atau “Safety journey”.

Masalahnya, terkadang keselamatan itu tidak bisa selalu menjadi prioritas utama. Keselamatan kerja selalu berada dalam kondisi konflik kepentingan dan trade-off (tukar guling) dengan nilai dan tujuan lain yang ada di dalam perusahaan. Untuk itulah social safety diperlukan, sebagai pengingat dan penguat nilai keselamatan perusahaan ketika terjadi tindakan yang tidak konsisten antara keputusan atau tindakan dengan narasi yang digaungkan.

Kemudian ada demonstrated safety, yakni aktifitas yang dilakukan untuk meyakinkan keselamatan terhadap pemangku kepentingan yang ada di luar organisasi. Agar dapat terus berkembang, perusahaan membutuhkan kepercayaan dari regulator, komunitas, dan pelanggan terhadap keselamatan produk dan aktifitas perusahaan. Tanpa “persetujuan” dari mereka, organisasi tidak akan bisa mempertahankan bisnisnya.

Contoh konkret demonstrated safety adalah pembuatan Safety Case perusahaan. Safety Case adalah argumentasi terstruktur yang didukung oleh bukti untuk menunjukkan bahwa sistem yang ada di perusahaan dapat diterima, selamat, atau lulus dari standar spesifik operasional.

Pembuatan safety case melibatkan banyak aktifitas ‘assurance’ semisal hazard analysis, design modelling, risk assessment, software testing, dan human error prediction.

Meskipun aktifitas ini seakan-akan memiliki tujuan ganda –meningkatkan keselamatan desain operasional dan menunjukkan bukti yang dapat mendemonstrasikan keselamatan- namun biasanya, target kesukesan yang disasar oleh aktifitas ini umumnya adalah persetujuan dari regulator (izin operasi) atau sertifikat pengakuan ketimbang mencari dan menyelesaikan masalah keselamatan operasional.

Lalu ada admistrative safety, penegakan rutinitas keselamatan yang terkendali, dapat diulang, dan terukur. Kosa kata yang sering dipakai dalam administrative safety misalnya definisi, standard, peraturan, akuntabilitas, batasan sistem, dan persyaratan peran pekerja.

Contoh umum administrative safety misalnya personal risk assessment atau “take-5” yang dilakukan sebelum memulai pekerjaan berisiko tinggi untuk mengidentifikasi dan memitigasi bahaya sebelum memulai pekerjaan.

Awalnya, rutinitas “take-5” dilakukan tanpa perlu didokumentasikan, namun agar lebih konsisten dan dapat diandalkan pelaksanaannya, beberapa organisasi membuat kartu “take-5” berisi hal-hal yang perlu diperhatikan, kemudian untuk memperkuat implementasi program dilakukan pencatatan dokumentasi dan audit. Tanpa disadari, “take-5” berubah bentuk menjadi formulir yang harus diisi, diserahkan, dan dihitung.

Aktifitas administrative safety berkembang dalam hal pencatatan dokumentasi dan menjadi semakin detail. Sehingga pada akhirnya, proses pencatatan dokumen di kegiatan rutin dipersyaratkan sebagai bagian dari sistem manajemen keselamatan.

Terakhir, physical safety yang mengubah langsung kondisi lingkungan kerja atau pekerjaan dan berpotensi memiliki pengaruh langsung terhadap operational safety. Physical safety lazimnya didiskusikan menggunakan istilah dan metafora fisik semisal bahaya, barrier, dan kontrol. Physical safety ditujukan untuk meminimalisir variasi (variability) dalam pekerjaan operasional misalnya dengan mencegah tindakan tidak selamat dan juga dapat digunakan untuk memberikan kapasitas ekstra bagi pekerja untuk melakukan pekerjaannya dengan selamat.

Safety of Work (Pekerjaan yang Selamat) atau Operational Safety

Safety of work/operational safety adalah an emergent property of work (karakteristik pekerjaan yang baru muncul), kadang didefinisikan sebagai “freedom from unacceptable risk of harm” (kondisi terbebas dari risiko bahaya yang tidak dapat diterima). Peliknya, definisi tersebut memiliki persoalan tersendiri ketika mendefinisikan keselamatan (safety), karena ‘acceptable risk’ itu seringnya dijelaskan menggunakan social safety, diukur melalui administrative safety, dan dideklarasikan menggunakan demonstrated safety.

Refleksi Penutup

Sekarang, mari jujur menilai program-program kerja, aktifitas, atau safety work yang kita lakukan di dalam organisasi, masuknya ke kategori apa? Manakah yang benar-benar meningkatkan safety of work/operational safety atau membuat pekerjaan menjadi selamat? Apakah lebih banyak masuk ke kategori social safety dan demonstrated safety? Atau ke administrative dan physical safety?

Organisasi dapat memiliki keyakinan bersama bahwa keselamatan itu berharga atau penting (social safety), menunjukkan keselamatan pada pemangku eksternal (demonstrated safety), dan berfungsi sesuai dengan sistem manajemen K3 yang telah ditetapkan (administrative safety), namun hal itu tidak menjadi jaminan apakah perusahaan berpotensi mengalami kejadian kecelakaan besar.

Seperti yang terjadi pada BP, di malam sebelum kejadian Deepwater Horizon blowout (mengakibatkan tenggelamnya rig pengeboran di teluk Meksiko dan pencemaran 4.9 juta barrel atau 780,000 m3, terbesar dalam sejarah Amerika), diselenggarakan acara bersama di atas anjungan pengeboran lepas pantai itu untuk merayakan raihan pencatatan kinerja K3 yang luar biasa!

Praktisi K3 perlu memiliki kemampuan untuk dapat membedakan antara demonstrated safety, administrative safety, social safety, physical safety dan operational safety agar tidak terjebak dalam melakukan pekerjaan atau aktifitas program kerja K3 (safety work) yang tidak menambah atau memberikan pengaruh berarti terhadap safety of work atau operational safety.

Kemampuan untuk dapat membedakan antara berbagai kategori tersebut juga membuat kita lebih mudah memahami hubungan antara keselamatan dan assurance. Kebingungan antara keduanya dapat membuat praktisi K3 memiliki false alarm dan false assurance. False alarm terjadi ketika seseorang memiliki kekhawatiran yang tidak semestinya atau berlebihan terhadap risiko bahaya yang tidak ada atau tidak signifikan, sedang false assurance adalah kondisi dimana ada kepercayaan diri yang salah terhadap pengelolaan atau manajemen sistem K3 di tempat kerja.

False alarm dan false assurance tidak mesti berbahaya, tapi kedua hal itu dapat menghambat kemampuan organisasi untuk fokus pada kemungkinan bahwa perusahaan dalam kondisi tidak selamat, mencegah terhadap kepercayaan diri berlebihan, dan fokus pada arah yang salah.

 

---000---

Penyusun:

Syamsul Arifin, SKM. MKKK.

Praktisi K3 dan Kandidat Doktor Manajemen UB

 

Referensi: Rae, Andrew dan David Provan. 2019. Safety work versus the safety of work. Jurnal Safety Science.


Artikel ini dimuat juga di majalah Isafety edisi Agustus 2021

Postingan terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar