Dalam industri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sebuah Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3) mengikuti beberapa langkah berikut:
- Identifikasi Bahaya (Hazard Identification)
- Penanganan dan Penilaian Resiko (Risk Assesment and Management)
- Penilaian Kinerja (Performance Measurement)
- Audit
- Tindakan Perbaikan (Corrective Action), dan
- Tinjauan (Review)
Secara konvensional, departemen kesehatan kerja sebuah perusahaan umumnya mengumpulkan dan melaporkan angka statistik berupa data perawatan kesehatan, pengujian darah, tes audiometri atau jumlah medical check-up. Meskipun data-data ini sangat bermanfaat bagi perencanaan perusahaan, namun hal-hal tersebut bukanlah indikator kinerja kesehatan.
Ada dua tipe indikator kinerja kesehatan di tempat kerja, metode proaktif dan metode reaktif.
Metode proaktif bisa berupa pemantauan paparan di tempat kerja atau juga penilaian faktor lain seperti gaya hidup yang dapat mempengaruhi kesehatan seorang pekerja sebelum mereka menjadi sakit.
Penggunaan metode proaktif ini menjadi sangat penting karena ketiadaan penyakit dalam kurun waktu tertentu belum tentu dapat menjadi jaminan bahwa sebuah bahaya telah teridentifikasi dan resiko yang mungkin muncul akibat bahaya tersebut telah ditangani dengan baik, sehingga tidak akan muncul penyakit di kemudian hari.
Sebagai perumpamaan, paparan terhadap zat-zat karsinogenik (penyebab kanker) di tempat kerja hanya dapat terlihat pengaruhnya dalam kurun waktu yang lama (efek kronis). Karena itulah, menjadi suatu hal yang penting agar pemantauan awal dapat digunakan sebagai umpan balik terhadap kinerja sebelum penyakit itu muncul.
Beberapa contoh indikator proaktif pada pengukuran kinerja kesehatan:
1. Analisa Resiko Kesehatan (Health Risk Assesment-HRA)
Analisa resiko kesehatan merupakan identifikasi secara sistematis bahaya-bahaya kesehatan di tempat kerja, penilaian besarnya resiko kesehatan, dan rekomendasi untuk menghilangkan atau menurunkan resiko kesehatan sampai pada nilai ambang yang diperbolehkan.
Hal yang diukur adalah jumlah analisa resiko kesehatan, sedang indikatornya tergantung dari persentase kelengkapan penilaian resiko kesehatan dari total populasi yang beresiko. Sumber data bisa didapatkan dari catatan kesehatan kerja dan hygiene perusahaan; audit
2. Kepatuhan terhadap Nilai Ambang Batas (NAB)
Adalah jumlah keadaan yang bisa mengimplementasikan penggunaan NAB dan jumlah kondisi yang berada di bawah NAB tersebut. Indikatornya berupa persentase jumlah pengukuran yang mematuhi nilai NAB.
3. Air yang dapat diminum (potable)
Jumlah sampel air yang memenuhi kualitas standar air minum. Hal ini bisa dilakukan dengan dilakukan pengambilan sampel berkala dan pengukuran pada saat perawatan instalasi penyedian air bersih.
4. Kepatuhan terhadap peraturan imunisasi perusahaan
Adalah jumlah pekerja yang harus diimunisasi dikarenakan potensi penyakit yang mungkin mereka derita akibat jabatan/pekerjaan yang mereka lakukan, sebagaimana dipersyaratkan oleh peraturan perusahaan.
Indikator ini dihitung persentase pekerja yang diimunisasi dari jumlah para pekerja yang memang harus mendapatkan imunisasi sebagaimana tertera pada kebijakan perusahaan. Data bisa diambil dari catatan kesehatan pekerja.
5. Jumlah pekerja yang mengikuti surveilens kesehatan
Surveilens kesehatan adalah salah satu cara yang dilakukan dengan mempergunakan metodelogi ilmiah dan pengujian, untuk melihat keadaan kesehatan yang sesungguhnya dari para pekerja, atau memiliki potensi terpapar akibat kondisi lingkungan kerja tertentu.
Indikator ini bisa menunjukkan persentase pekerja berisiko yang mengikuti surveilens kesehatan sebagaimana diwajibkan oleh peraturan perusahaan.
6. Analisa dampak terhadap kesehatan masyarakat sekitar
Analisa dampak terhadap kesehatan masyarakat sekitar lingkungan kerja dilakukan untuk menilai besarnya potensi dampak akibat project/kegiatan perusahaan. Hal ini umumnya dilakukan sebagai bagian dari analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
Indikator yang dihitung adalah persentase analisa dampak kesehatan masyarakat pada project/operasi-operasi yang baru dijalankan.
7. Pelatihan yang terkait dengan kesehatan
Adalah jumlah pekerja berisiko yang mengikuti pelatihan terkait tema kesehatan. Indikatornya adalah jumlah pekerja yang beresiko terkena sakit tertentu, dan mengikuti pelatihan terkait penyakit/kesehatan tersebut.
Metode reaktif lebih ditujukan kepada pemantauan akibat dari paparan suatu bahaya kesehatan, seperti kecelakaan, jumlah penyakit akibat kerja, dan temuan dari kurangnya perlindungan kesehatan.
Beberapa contoh indikator yang reaktif pada pengukuran kinerja kesehatan adalah:
1. Frekuensi Penyakit Akibat Kerja
Jumlah kasus akibat Penyakit Akibat Kerja (PAK). Indikatornya bisa berupa tingkat frekuensi (frequency rate) PAK per satu juta jam paparan kerja.
2. Kecelakaan akibat PAK atau yang diakibatkan oleh penyakit yang dapat dicegah
Jumlah pekerja yang terkena penyakit infeksi atau penyakit yang dapat dicegah, seperti malaria, keracunan makanan, penyakit lionaires, dll. Indikatornya adalah jumlah penyakit baru yang muncul.
3. Jumlah kompensasi yang dikarenakan sakit
Jumlah klaim perusahaan yang diakibatkan oleh sakit. Indikatornya adalah persentase jumlah klain sakit dibandingkan dengan jumlah total klaim. Data bisa diambil dari perusahaan asuransi.
4. Jumlah pekerja yang berhenti akibat PAK
Data ini diambil dari jumlah pekerja yang diberhentikan atau dipensiunkan dini, akibat menderita PAK.
5. Jumlah evakuasi medis
Yaitu jumlah evakuasi medis yang telah dilakukan. Indikatornya adalah jumlah evakuasi medis yang dilakukan pada pekerja yang beresiko per satu juta jam paparan kerja.
6. Absensi karena sakit
Absen karena sakit didefinisikan sebagai ketidakhadiran pekerja dikarenakan tidak mampu bekerja dikarenakan sakit. Indikatornya berupa jumlah absensi per persentase jumlah total hari kerja.
7. Penggunaan fasilitas bantuan kantor karena alasan kesehatan
Beberapa perusahaan mempunyai fasilitas/program bantuan bagi para pekerjanya terkait alasan kesehatan.
8. Hasil akhir dari surveilens kesehatan
Adalah jumlah pekerja yang mengikuti surveilens kesehatan, yang telah terbukti positif menderita penyakit akibat kerja yang tidak dapat disembuhkan (adverse health effect)
Penggunaan indikator bagi kinerja kesehatan merupakan salah satu persyaratan penting bagi suksesnya Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3) suatu perusahaan.
Untuk dapat meningkatkan kinerja kesehatan dari sebuah SMK3, perusahaan perlu memilih dan mengukur indikator yang tepat; perusahaan juga harus bisa mempergunakan data internal maupun eksternal dari laporan-laporan K3 yang dapat digunakan untuk meningkatkan komitmen terhadap aspek kesehatan di dalam SMK3.
Sampai saat ini, tingkat frekuensi penyakit akibat kerja sering digunakan sebagai indikator utama kinerja kesehatan, padahal ini adalah indikator yang reaktif.
Di masa mendatang, penggunaan indikator proaktif perlu lebih ditingkatkan, karena indikator-indikator ini lebih bisa meningkatkan dan memperbaiki kinerja kesehatan.
---000---
Beberapa jenis penyakit akibat kerja:
1. Penyakit pernafasan: asma, silikosis, asbestosis, alveliolitis
2. Penyakit kulit: kontak dermatitis, alergi atau gatal-gatal
3. Gangguan pada lengan bagian atas dan leher: yang terkait akibat gerakan berulang (repeated) atau trauma kumulatif
4. Gangguan pada punggung dan lengan bagian bawah: yang terkait akibat gerakan berulang (repeated) atau trauma kumulatif
5. Kanker dan penyakit akibat virus pada darah: mesothelioma, leukemia, kanker kandung kemih
6. Keracunan: keracunan timah, merkuri, arsenik, cadmium, karbon monoksida, hydrogen sulfida
7. Kerusakan pendengaran akibat kebisingan
8. Penyakit infeksi dan dapat dicegah: malaria, keracunan makanan, hepatitis yang menular, penyakit legionaire
9. Penyakit kejiwaan: depresi, stres akibat trauma
10. Penyakit lain-lain: gangguan akibat agen fisik (selain kebisingan dan bahan beracun), panas, hipotermia.
Referensi: Health Performance Indicators. OGP, International Association of Oil & Gas Producers. Report no. 678/290. June 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar