Pandangan ini pada akhirnya menelurkan zero vision, visi nihil kecelakaan.
Sesuatu yang jadi perdebatan dalam kajian keilmuan K3.
Pendapat bahwa semua kecelakaan dapat dicegah muncul
dari zaman pencerahan, sekitar abad-18, ketika Eropa mulai melepaskan cara
berpikir dari kepercayaan tradisional dan memisahkan dogma agama.
Sebagai seruan moral yang tidak menginginkan adanya
bahaya dan dorongan perbaikan untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih
baik.
Juga dipengaruhi paham modernisme, yang meyakini
bahwa kita selalu bisa melakukan perbaikan berkelanjutan.
Namun, pandangan ini bisa jadi keliru karena beberapa
hal:
Pertama, ada
beda yang jelas antara komitmen atau impian dengan probabilitas statistik.
Kegagalan atau kecelakaan di dalam dunia nyata yang
kompleks dan memiliki sumber daya yang terbatas secara empiris maupun teoritis
tidak akan pernah nihil.
Contoh justifikasi teoritis dan pembahasan bukti
empiris studi kasusnya bisa dibaca detail pada kajian Man Made Disaster Theory, Normal Accident Theory, atau High Reliability Organization.
Kedua, paham
"semua kecelakaan dapat dicegah" bersandar kuat pada teori jadul
Domino. Kita bisa menghindari kecelakaan kalau fokus/mengambil domino yang
dapat menjatuhkan domino selanjutnya.
Pada awal pengembangannya, Heinrich menekankan
pentingnya faktor kondisi dan pelindung fisik, tapi kemudian ia menggeser fokus
pada 'menghilangkan tindakan tidak selamat pekerja'.
Jika kita bisa menghambat jatuhnya suatu domino,
kecelakaan bisa kita cegah.
Teori Domino Heinrich terdiri dari 3 pokok utama:
kecelakaan terjadi secara linear/berurutan, ada rasio perbandingan yang tetap
antar kategori kecelakaan, dan tindakan tidak selamat berkontribusi atas 88%
kecelakaan kerja.
Kritik/studi ilmiah telah menunjukkan kesalahan pada
ketiga hal tersebut.
Para ahli keilmuan K3 meragukan dasar ilmiah teori
ini. Sehingga validitas kesimpulan yang diambil dari teori ini tidak bisa kita
pegang keandalannya.
Ketiga, ketika
semua meyakini bahwa kecelakaan dapat dicegah, maka pimpinan dan pekerja
mendapat tekanan yang di luar kapasitasnya ketika terjadi kecelakaan.
Tekanan pada pimpinan karena dianggap tidak
menjalankan kewajibannya (bisa terkena tuntutan hukum), jelek reputasinya
(mempengaruhi promosi/justru malah demosi).
Sedang tekanan pada pekerja karena dituduh tidak
menunjukkan perilaku yang baik di tempat kerja. Bahkan tidak jarang malah
mendapatkan surat peringatan atau paling parah kehilangan pekerjaan setelah
jadi korban kecelakaan.
Konsekuensi dari tekanan semacam itu apa?
Dampaknya jelas, manipulasi data (bagi atasan) dan
menyembunyikan kejadian kecelakaan (bagi bawahan).
Komunikasi yang tidak akan pernah transparan dan akar
permasalahan yang akan selalu dormant/tersembunyi dalam organisasi.
Keempat, bukan
bebas kecelakaan yang harusnya jadi tujuan kita, tapi fokuslah pada leading
indikator yang mempengaruhi keselamatan sebagai pengukuran kinerja.
Keselamatan tradisional diukur oleh angka kecelakaan
sebagai variabel dependant yang dipengaruhi oleh faktor lain.
Jika yang jadi patokan adalah variabel yang tidak
mampu kita kendalikan secara langsung, akan muncul rasa putus asa, tidak
berdaya, baik ketika sebelum ada kecelakaan maupun setelahnya.
Variabel independent/hal-hal yang mempengaruhi
keselamatan yang bisa kita kontrol/kendalikanlah yang semestinya mempengaruhi
baik/buruknya kinerja kita. Ini yang seharusnya diukur, dipantau, dan
diusahakan.
Sepatutnya kita bergeser dari melihat ketiadaan
kecelakaan sebagai definisinya keselamatan.
Sudah saatnya kita melihat kapasitas/kemampuan
organisasi dan pekerja untuk mencapai tujuan pekerjaan dengan sukses dalam
berbagai kondisi yang bervariasi (the
ability to succeed under varying condition) sebagai definisi baru
keselamatan.
Terakhir,
setelah investigasi suatu kecelakaan, kita mengambil kesimpulan yang sederhana:
seharusnya kecelakaan sederhana seperti itu tidak perlu terjadi dan dapat
dicegah.
Tapi kesimpulan itu dipenuhi kesalahan berpikir/bias,
hindsight bias. Kesalahan dalam
menarik kesimpulan karena sudah mengetahui hasil akhir suatu kejadian.
Jika kita dihadapkan pada kondisi yang sama, dengan
sumber daya yang sama, dan keterbatasan yang sama, dalam konteks motivasi yang
sama, bisa jadi kita akan mengambil langkah yang sama.
Di dalam investigasi kita telah mengumpulkan semua
detail informasi dari berbagai sumber/pihak, memiliki waktu yang berlebih untuk
menganalisis data, mengevaluasi semua opsi pilihan langkah kerja dengan
melibatkan semua ahli yang bisa dikumpulkan.
Dalam pekerjaan nyata, hal itu semua tidak bisa
dilakukan. Ada keterbatasan sumber daya manusia, alat, kondisi lingkungan yang
tidak ideal, waktu, uang, tekanan jadwal, yang bisa memberikan konteks berpikir
yang berbeda.
Dan orang di kantor hanya bisa membayangkan bagaimana
suatu pekerjaan dilakukan (work as
imagined) berdasarkan tulisan/prosedur (work
as prescribed) dan cerita pekerja (work
as disclosed), yang kesemuanya berbeda dengan pekerjaan ketika benar-benar
dilakukan (work as done).
---000---
Penyusun:
Syamsul Arifin, SKM. MKKK. Grad IOSH.
Praktisi K3LH.
www.syamsularifin.org
Referensi:
-
Larry Wilson. 2005. All Injuries Cannot Be Prevented. OHS online magazine
-
Sidney Dekker. 2014. The Field Guide to Understanding 'Human Error'
-
Sidney Dekker. 2015. Safety Differently. Human Factors for a New Era
-
Sidney Dekker. 2019. Foundations of Safety Science
-
Steven Shorrock. 2017. The Varieties of Human Work. Safety Differently website
-
Erik Hollnagel. 2018. Safety-II in Practice.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar