24 Maret 2021

Pekerja sebagai 'Free Agent' atau sebagai Pembelajar Sosial?


Dalam mengelola keselamatan personal, saya menyederhanakan ada dua pola pikir/sudut pandang yang umum digunakan dalam memandang perilaku pekerja.

Pola pikir ini pada gilirannya mempengaruhi respon dan keputusan kita dalam menanggapi perilaku tertentu yang muncul di tempat kerja.

Pertama, kita menganggap pekerja sebagai free agent, manusia bebas, yang segala keputusan dan tindak tanduknya ditentukan hanya oleh dirinya sendiri. 

Pola pikir ini banyak diadopsi oleh orang dengan latar belakang (pendidikan atau pengalaman) barat/western yang menganggap mereka adalah nahkoda nasib hidup mereka sendiri.

Oleh para penganut konsep 'free agent', setiap orang dipandang mampu memilih apa yang benar dan yang salah (error). Ketika disodorkan laporan kecelakaan dan ditanya faktor apa yang paling mungkin dapat dicegah, jawabannya serta merta adalah perilaku manusia (human behavior).

Sayangnya, pandangan itu menerima kritik. Puluhan tahun lalu, Lefcourt (1973) menyebut cara pandang itu sebagai bias illusion of freewill (ilusi kebebasan).

James Reason mengutip alasan ilusi kebebasan ketika menerangkan tentang siklus menyalahkan (blame cycle) di bab 'a practical guide to error management' pada bukunya yang berjudul 'Managing the Risks of Organizational Accidents' (1997).

Para "ahli" yang mempergunakan pola pikir itu sering menyalahkan pekerja dan menyarankan untuk memperbaiki sisi manusia ketika merekomendasikan solusi yang mudah dicapai dalam memperbaiki kualitas keselamatan tempat kerja.

Di sisi lain, perspektif kedua, ada sudut pandang yang menganggap bahwa perilaku pekerja tidak hanya ditentukan oleh kesadaran internal, tapi dipengaruhi juga oleh kondisi teknikal, sosial, dan organisasional.

Ada keterbatasan di lapangan, tekanan kelompok, normal/kebiasaan sosial, tuntutan atasan, jadwal yang padat, desain pekerjaan, kepentingan yang bertabrakan, skema bonus, dst.

Ketika dihadapkan oleh konteks sosial tersebut, manusia mengamati, menganalisis, belajar dari berbagai praktik yang ada, kemudian beradaptasi, yang bisa jadi menghasilkan suatu perilaku baru yang cocok dengan konteks lokal yang ada ketika itu.

Maka tidaklah mengherankan, seseorang sangat mungkin mengambil sikap atau perilaku yang berbeda dalam konteks yang berbeda. Misalnya di tempat kerja, disiplin 100% selalu memakai Alat Pelindung Diri (APD), tapi ketika di rumah, percaya diri meski naik motor tanpa helm.

Dari sini, sebagai seorang praktisi K3, kita perlu cermat memahami apa-apa saja yang mendorong seseorang mengambil keputusan/berperilaku tertentu, jangan langsung menghakimi tanpa memperhatikan konteks lokal lingkungan yang dihadapi pekerja.

Sebab kalau salah mengidentifikasi, akan salah juga memberikan rekomendasi/solusi untuk memodifikasi perilaku ke arah yang diinginkan. 


---000---


Depok, 10 Maret 2021

Syamsul Arifin, SKM. MKKK. Grad IOSH.


Referensi:

- Reason, James. 1997. Managing the risks of organizational accidents. UK

- Luthans, Fred. 2011. Organizational behavior: an evidence-based approach, 12th ed. USA.

Postingan terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar