Ada perkembangan dalam memahami perilaku manusia dalam konteks Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Awalnya, teori yang banyak diadopsi berasal dari ranah psikologi perilaku/behaviorisme. Behaviorisme menekankan hubungan antara stimulus dan respon dalam membentuk/conditioning perilaku yang diobservasi. Percobaan yang mengembangkan teori ini misalnya dilakukan oleh Pavlov pada anjing (1897) dan Skinner pada tikus (1948).
Pavlov membentuk perilaku anjing untuk mengeluarkan air liur dengan mengkondisikan/mengasosiasikannya terhadap suara bel dan/atau makanan (pengkondisian klasik/classical conditioning). Sedang Skinner menempatkan tikus di dalam kotak dengan tombol untuk mengeluarkan makanan (hadiah) dan tikus di dalam kotak dengan tombol yang dapat menyetrumkan listrik (hukuman). Teori behaviorisme sering disebut sebagai landasan dalam program Behavior Based Safety (BBS).
Kemudian berkembang teori psikologi kognitif/cognitive yang bukan hanya melihat hal yang di luar/dapat dilihat, tapi memperhatikan juga faktor internal dan proses berpikir individu. Faktor internal yang diperhatikan misalnya persepsi, ingatan, pengetahuan, penalaran, sikap, ide, harapan, dll.
Teori ini bisa lebih baik menjelaskan perilaku yang asosial dibandingkan behaviorisme. Tokoh pengembang teori ini diantaranya yaitu Ulric Neisser yang menerbitkan buku berjudul psikologi kognitif (1967). Bahkan teori ini sudah dikembangkan untuk memperbaiki perilaku fobia, kecemasan, atau gangguan kesehatan mental lainnya dalam bentuk terapi perilaku kognitif/cognitive behavioral therapy.
Kemudian ada teori kognitif sosial/social cognitive (1986) yang merupakan pengembangan teori pembelajaran sosial/social learning (1960an), dengan tokoh pengembangnya semisal Albert Bandura. Teori ini memperhatikan lingkungan/kondisi fisik dan sosial di sekeliling individu yang mempengaruhi cara berpikir dan sisi emosional sehingga akhirnya menentukan bagaimana ia berperilaku.
Experimen yang terkenal oleh Bandura terkait teori pembelajaran sosial yaitu percobaan boneka Bobo (1961) dimana seorang anak kecil ditaruh di ruangan dengan dipertontonkan beberapa variasi perlakuan orang dewasa terhadap boneka bobo. Si anak kemudian dipindah ke ruang berbeda dengan boneka yang sama, ia kemudian meniru perlakuan yang diobservasi sebelumnya.
Tentu itu bukan semua daftar teori terkait terkait perilaku manusia. Masih banyak yang lainnya. Dan bisa jadi, dibutuhkan kombinasi dari beberapa teori untuk lebih dapat memahami, memprediksi, dan membentuk perilaku manusia.
Lalu, apa tujuan tulisan ini. Coretan ini saya angkat agar kita mau belajar banyak perspektif/teori/model/konsep lain. Melihat dari kaca mata yang berbeda, terutama dari sumber ilmiah (evidence based) yang teranyar.
Sebagai analoginya, dulu kita mengenal Pluto sebagai salah satu bagian dari susunan tata surya yang kita hafal, tapi di 2006, International Astronomical Union (IAU) mendeklasifikasi/mengeluarkan Pluto sebagai planet kesembilan -setelah 76 tahun!
Ilmu pengetahuan terus berkembang demikian juga pola interaksi manusia dan kondisi zaman. Semua itu tentu membutuhkan pembaharuan dalam cara pandang, teori, konsep atau kerangka pemikiran kita agar dapat lebih baik dalam memahami perilaku manusia, melakukan pengambilan keputusan, dan membuat program kerja yang lebih sesuai (dengan manusia/pekerja).
Studi Pembahasan: Program Behavior Based Safety (BBS)
Program BBS muncul sekitar tahun 1970an. BBS dapat didefinisikan sebagai seperangkat teknik yang digunakan untuk mendorong ataupun menekan perilaku tertentu dari pekerja guna mencegah kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Penerapan program ini membutuhkan elemen semisal penetapan tujuan, melakukan teknik observasi, pencatatan, dan analisis penyebab perilaku tidak selamat/berisiko dan membuat sistem komunikasi yang efektif (Pecillo, 2010).
Referensi tool BBS dikaitkan kepada Heinrich yang mengklaim kalau 88% kecelakaan kerja dikarenakan perilaku tidak selamat pekerja. Dan BBS juga berpijak pada penelitian terapan Skinner yang merumuskan model antecedent-behavior-consequence (ABC). Antesenden berperan sebagai pemicu sebuah perilaku, sementara konsekuensi -positif ataupun negatif- dianggap menentukan kemungkinan pengulangan perilaku dimasa depan.
Asumsi yang dipercaya yaitu memberikan pekerja konsekuensi positif (hadiah) akan memperkuat kemungkinan perilaku tertentu, sementara konsekuensi negatif (hukuman) akan mengecilkan pekerja dari perilaku yang tidak diinginan/perilaku berisiko. Hadiah dan hukuman bisa berupa banyak bentuk, baik berupa umpan balik positif atau negatif, perayaan dan pesta karena telah mencapai target yang telah ditetapkan, sampai penghargaan finansial dan bahkan pemecatan.
Program BBS, seperti teori psikologi perilaku/behaviorisme, memiliki banyak kritikan. Tiga kritik utama BBS yaitu: menyalahkan korban, tidak memperhatikan pengaruh penting dari lingkungan/sosial, dan hanya fokus pada penyebab langsung. Kritik lebih panjang juga bisa dibaca di bukunya Sidney Dekker berjudul Foundations of safety science: a century of understanding accidents and disasters (2019).
Meskipun BBS tidak ditujukan untuk menyalahkan pekerja, agak sulit untuk tidak menyatukan kedua hal ini bersamaan, karena bagaimanapun juga, fokus utamanya adalah tindakan atau perilaku pekerja.
Hal tersebut bisa kita perhatikan pada daftar perilaku berisiko yang umumnya menjadi kategorisasi/pengelompokan perilaku yang diobservasi. Misalnya menggunakan peralatan yang tidak sesuai untuk pekerjaan, menggunakan peralatan yang rusak atau tanpa sertifikat inspeksi yang valid atau peralatan yang tidak memiliki pelindung, dan tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai atau rusak atau bahkan tidak menggunakan APD sama sekali.
Meskipun kita mungkin tidak bisa mengesampingkan peran pekerja (misalnya ceroboh atau malas), namun kita semestinya bisa sepakat bahwa menyediakan peralatan kerja yang layak, seharusnya merupakan tanggung jawab pengurus/manajemen, bukan peran yang ada di pundak pekerja.
Ketika mendengar atau melihat kesalahan, respon kita bisa jadi bias atau keliru. Salah satu kekeliruan itu diantaranya yaitu "proximal". Sidney Dekker di bukunya The field guide to understanding ‘human error’ (2014) menjelaskan bahwa kekeliruan proximal ini dikarenakan kita terlalu fokus hanya pada pekerja yang berada paling dekat dalam konteks ruang/jarak dan waktu dengan kegagalan.
Maka dari itu, untuk dapat lebih baik dalam memahami kesalahan/error, kita harus melihat juga sistem kerja yang lebih besar. Sistem operasional dapat dibagi menjadi sharp end/ujung yang tajam dan blunt end/ujung yang tumpul.
Sharp end/ujung yang tajam adalah pekerja lapangan yang berinteraksi langsung dengan proses pekerjaan, misalnya supir kendaraan, pilot di kokpit, dokter di ruang bedah, dst. Sedang blunt end/ujung yang tumpul adalah organisasi atau perangkat organisasi yang mendukung dan juga membatasi aktifitas pekerja di sharp end, misalnya para pimpinan/manajemen di maskapai penerbangan atau rumah sakit, pemasok peralatan, dan regulator.
Perilaku manusia itu kompleks. Maka dari itu, ketika berbicara keselamatan, kita sebaiknya mencoba melihat dari perspektif yang berbeda atau studi terkini, mencoba menyelami teori, model, atau konsep baru, yang semoga bisa jadi ada insight mencerahkan.
---000---
Syamsul Arifin, SKM. MKKK. Grad IOSH.
Praktisi K3LH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar