27 Januari 2022

Mengorbankan Mobil Sendiri Demi Menyelamatkan Pengendara yang Pingsan



Ilustrasi video ini menarik. Terlihat sebuah mobil meluncur tak terkendali, keluar jalan raya, masuk lagi. Sampai kemudian ada pengendara mobil lain yang dengan sengaja, berhenti di depannya guna menahan/memberhentikan laju mobil yang supirnya kehilangan kesadaran.

Ia membahayakan dirinya sendiri (ada potensi mobil terguling ketika ditabrak) dan pastinya mengalami kerusakan kendaraannya akibat benturan.

Dari video itu, kita bisa saksikan aksi kepahlawanan yang bisa juga dikategorikan sebagai sebuah -exceptional- violation (pelanggaran), sebab sejatinya, kita diajarkan untuk tidak membahayakan diri sendiri ketika melakukan penyelamatan.

Bahkan jika skenario itu terjadi di negara kita yang menganut konsep 'duty to rescue' dengan dasar hukum KUHP pasal 531 yang bisa mempidanakan orang yang mengabaikan memberi pertolongan, pasal itu tidak berlaku jika ada kekhawatiran tindakan penolong dapat mengancam keselamatan sendiri. 

Melihat video ini, saya jadi teringat sebuah kalimat yang dulu saya hindari (tidak mau mengutipnya) ketika sedang browsing referensi mengenai human error, violation, dkk. Dari NOPSEMA (regulator migas lepas pantai di Australia), mereka ada menulis seperti ini di catatannya:

"Violations are classified as human error only when they fail to achieve the desired outcome. Where a violation does achieve the desired outcome, and does not cause any other undesired outcomes, this is not human error."

Lalu inti pesan saya ini apa?

Saya ingin kita rasional ketika berdiskusi mengenai 'risk taking'. Dalam bisnis, ketika tujuan akhirnya adalah keuntungan, terkadang tarikan kepentingan ekonomi membuat banyak keputusan diambil di pinggir batas kegagalan.

Jika berhasil, akan dianggap sebagai pahlawan, mampu melakukan terobosan, efisiensi, dst. Tapi kalau gagal, ya akan dicap sebagai pelanggar, sembrono, ceroboh, dst.

Karena hal-hal yang membuat sukses dan gagal di tempat kerja, kata Dekker itu hampir serupa, berupa shortcut (ambil jalan pintas), pelanggaran, tidak mematuhi prosedur, kurang pengawasan, teknologi yang 'user-unfriendly', dst.

Maka, belajar dari kecelakaan saja tidak cukup, dalam kesuksesan (keselamatan) sehari-hari ada jauh lebih banyak variasi kinerja (performance variability) yang bisa kita jadikan pelajaran untuk menjaga dan meningkatkan hal-hal yang sudah sukses atau berhasil.

Dan berhati-hati ketika memberikan label human error atau violation, sebab hal itu lebih bersifat pelabelan yang judgmental (menghakimi dengan subyektif), dipengaruhi beberapa bias (misalnya hindsight bias), dan tidak memperhatikan local rationality pekerja (memahami dengan obyektif mengapa tindakan yang mereka ambil tampak masuk akal dalam mereka ketika itu). 

Dan di sisi lain, ketika berbicara risiko, praktisi K3 juga harus memahami bahwa ia tidak statis, risiko dalam proses/progress pekerjaan itu bersifat dinamis, naik dan turun, up and down. Maka dari itu, kesuksesan (atau keselamatan) yang terjadi di masa lalu tidak bisa dijadikan patokan akan jaminan hasil yang sama (sukses/selamat) di masa depan. Karenanya harus dibangun kapasitas atau kemampuan manusia untuk memonitor, merespon, mengantisipasi, dan belajar agar terus selamat atau sukses. 


---000---

Depok, 26 Januari 2022
Syamsul Arifin, SKM. MKKK. Grad IOSH.

Referensi:
- NOPSEMA (National Offshore Petroleum Safety and Environmental Management Authority). 2021. Human factors. Website NOPSEMA
- Jens Rasmussen. 1997. Risk management in a dynamic society: a modelling problem. Jurnal Safety Science Vol. 27
- Sidney Dekker. 2018. Why Do Things Go Right? Website Safety Differently
- Erik Hollnagel. 2014. Safety–I and safety–II: the past and future of safety management. Ashgate Publishing Limited

Postingan terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar